This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tuesday, October 23, 2012

Narasi Kepahlawanan: Yang Mitologis, Yang Historis II


Pahlawan historis
Patung-patung para pahlawan dan nyanyian cinta tanah air hadir di pelosok-pelosok tempat di negeri ini; apalagi setiap hari nasional bersejarah seperti Hari Pahlawan, Peringatan Sumpah Pemuda, Proklamasi, peringatan 100 tahun tokoh-tokoh nasional, dan lain-lain. Namun setelah beberapa lama ia mengisi ruang jiwa yang hampa dan mulai kehilangan pengaruh di jiwa rakyat Indonesia. Ia telah menjadi “berhala” karena dimitoskan. Berhala sejarah. Dan berhala—bagaimanapun bentuk dan sifatnya—jelas  sebuah pemalsuan dan penipuan diri sendiri akan harapan kehadiran sebuah keagungan dan kemuliaan masa lalu yang akan segera dilupakan setelah kegiatan itu berakhir (amnesia historis).

Pro-kontra pemberian gelar pahlawan nasional yang terjadi setiap tahun terus berulan, salah satu kasusnya adalah ketika Suharto diusulkan menjadi pahlawan nasional. Sebagian masyarakat menilai gelar pahlawan itu tidak cocok disandang “Raja Jawa Terakhir” ini, karena selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dianggap bertanggung jawab dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Seperti kasus Tanjungpriok (1984), Talangsari (1989), penculikan dan penghilangan paksa (1997/1998), hingga kerusuhan 1998. Tragedi tahun 1965-1966 yang sampai hari ini masih menjadi dilema sejarah dan kontroversi menjadi titik lemah pemberian gelar pahlawan bagi Suharto.

Namun sebagian lain masyarakat justru menilai Bapak Pembangunan ini layak menjadi pahlawan nasional. Suharto berhasil membawa perbaikan ekonomi Indonesia sejak tahun 1967, dimana inflasi mencapai 600%. Pembangunan sarana dan prasarana dari kota sampai desa, serta program transmigrasi menjadi catatan keberhasilan pembangunan Orde Baru selama tiga dekade. Ia juga sukses mengokohkan negara ini sebagai salah satu yang disegani di kawasan ASEAN. Sebelumnya, Letkol Suharto menjadi salah seorang aktor utama dari Serangan Umum 1 Maret 1949, dan memimpin banyak pertempuran dalam mengukuhkan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah jujur
Dalam konteks sejarah bangsa, berbagai cerita mengenai kepahlawanan beriringan dengan kisah-kisah tragedi dan kemunafikan. Di sinilah arti penting makna sejarah sebagai peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan mitos sebagai hal yang diada-adakan (kebohongan sejarah). Khazanah masa lalu itu adalah kekayaan dan realitas yang diwariskan para pendahulu kita sebagai modal sejarah untuk menguatkan kebersamaan, sekaligus merefleksikan wajah keindonesiaan kita.

Dalam periode yang cukup panjang, anak bangsa ini hidup dalam pemahaman kesejarahan yang hitam-putih berdasar kepentingan kekuasaan. Karena itu, sejarah jujur adalah penceritaan masa lalu yang apa adanya, tak ada rasa malu, dan menerima baik-buruk para pelaku sejarah kita tanpa perlu ditutupi atau dikultuskan. Apalagi kejujuran adalah sifat langka di antara para pemimpin kita hari ini, maka sudah saatnya generasi muda bangsa ini belajar jujur dari sejarahnya yang kelam.

Esensi gelar pahlawan nasional bertolak pada rasa kepemilikan kolektif dan simbol solidaritas sejarah; satu bangsa dan satu tanah air. Namun seringkali esensi ini diplintir untuk kepentingan politis, dan kadang menafikan “pahlawan nasional” dari lapisan bawah; petani, buruh, prajurit pangkat rendah, atau pekerja dapur umum di masa perjuangan. Karena konsep yang dangkal tentang makna nasional, mereka akhirnya terpinggirkan dalam catatan sejarah. Dan memang eksplanasi objektif terhadap peran rakyat dalam sejarah Indonesia karena kepentingan politis dari keberadaan pahlawan mitologis, kita telah menulis dan mendukung sebuah ketidakjujuran sejarah bagi generasi kini. [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan. Gratis dan sangat membantu update blog ini/Red]

Narasi Kepahlawanan: Yang Mitologis, Yang Historis I


“Petualang-petualang sibuk menyusun sejarah hidupnya, menyulap dongeng menjadi kenyataan, seolah-olah merekalah yang paling berjasa dan karena itu minta dihargai.” (Soewardi Idris, 2008)

Heather Sutherland, menulis “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008). Dijelaskan Sutherland, seiring menguatnya negara birokrasi di Eropa abad ke-19, muncul kecenderungan baru penulisan sejarah yang disebutnya, Sejarah Profesional Modern (SPM).

SPM ini ditandai oleh narasi besar yang dominan, yang berpuncak pada kejayaan modernita negara-bangsa (hlm. 34). Negara pasca kolonialisme atau kolonisme (memakai term Bambang Purwanto) menjadi wacana utama. Terdapat hubungan timbal balik antara negara dan sejarah; bagaimana negara memainkan peran dalam perdebatan sejarah, dan peranan sejarah dalam negara pasca kolonial. Dalam hubungan inilah, selain kebutuhan narasi kolektif akan identitas bersama, narasi kepahlawanan menjadi sangat penting. Bagi negara, narasi sejarah akan kepahlawanan berbanding lurus dengan kebutuhan pewarisan semangat kebangsaan.

Sebuah kecenderungan negara-negara bangsa yang muncul pasca PD II membutuhkan pahlawan. Pahlawan dibutuhkan selain sebagai bagian dari simbol kebangsaan, juga sebagai jejak kesejarahan bangsa itu. Tak heran di negara baru seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, negara-negara di Amerika Selatan, bahkan di Timor-Timur, latar belakang pahlawan mereka banyak berasal dari militer atau tokoh perjuangan atau pimpinan pergerakan. Diantara mereka misalnya, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Sudirman, Ho Chi Min (Vietnam), Jose Rizal (Filipina), Che Guevara (Amerika Latin), atau Nelson Mandela di Afrika Selatan. Lewat sejarah hidup dan perjuangan mereka sebagian besar narasi historiografi satu bangsa disandarkan, sekaligus menjadi simbol persatuan antar-anak bangsa yang baru tumbuh tersebut.

Selama enam dekade terakhir narasi-narasi sejarah bangsa tidak bisa dilepaskan dari sejarah hidup dan aktifitas para pahlawan-pahlawan tersebut. Pembabakan sejarah Indonesia, sebagai contoh, bermula dari gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908 yang merupakan organisasi kaum intelektual di Jawa. Berlanjut muncul SI (Syarekat Islam), Schakel Society (kaum terdidik) di tahun 1920an, munculnya PI (Persatuan Indonesia) di Belanda, PNI Sukarno, dan seterusnya, yang merupakan langkah-langkah penting penyusunan sejarah nasional Indonesia. Dan tidak heran juga pemberian gelar pahlawan salah satu syaratnya mesti pernah menjadi bagian dari cerita-cerita (panjang atau pendek) dari keikutsertaan mereka dalam pembabakan sejarah tersebut. Selain itu terdapat juga tambahan prekondisi sejarah Indonesia sebagai negara baru lewat simbol perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan secara lokal seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Antasari, Patimura, dan sebagainya.

Pahlawan-pahlawan itu bukan tidak ada masalah dalam masyarakat. Pahlawan kadang bisa menjadi sangat politis, sekaligus nir-rakyat. Pahlawan menjadi sangat politis ketika mendapat pro-kontra dalam masyarakat seperti yang dialami oleh Suharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dan juga nir-rakyat karena selama ini anugerah gelar kepahlawanan oleh negara pada satu individu tidak ada yang dari rakyat jelata.

Penulisan sejarah (historiografi) Indonesia hari ini mengalami krisis dan degradasi tematik. Kelahiran corak penulisan sejarah yang telah dimulai di akhir tahun 1950 hingga kini gagal merekam realitas kesejarahan masyarakat Indonesia secara utuh. Tradisi penulisan sejarah yang Indonesiasentris dalam historiografi selama 50 tahun belakangan—mulai 1957—ternyata tak jauh berbeda secara metodologis dibandingkan dengan historiografi kolonial—penguasa sebagai titik sentral. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah tradisi ini telah meminggirkan peran rakyat dalam peristiwa sejarah yang terjadi.

Sesungguhnya dalam peristiwa sejarah, pemimpin adalah “kata benda”, sementara rakyatlah “kata kerja”. Namun penulisan sejarah Indonesia yang dirumuskan dalam konggres sejarah nasional I, yang terjadi justru terbalik. Rakyatlah “kata benda”, sementara pemimpin diletakan sebagai sosok paling berperan di front-front perjuangan hingga bangsa ini merdeka. 

Penonjolan jasa para pemimpin itu jamak dalam historiografi kita selama setengah abad berjalan. Penerbitan berbagai biografi atau otobiografi merupakan salah satu contoh utama, selain buku-buku sejarah umum yang dipakai di sekolah-sekolah, mulai tingkat dasar sampai menengah. Selain itu, kisaran narasi pada keberadaan Belanda sebagai penjajah mengecilkan dinamika alami yang terjadi di masyarakat Indonesia sendiri.

Bambang Purwanto dalam buku Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (2006), menyatakan sejak saat itu narasi sejarah kita cenderung menjauh dari sejarah objektif dan gagal karena ekses negatif prinsip dekolonisasi historiografis yang diterapkan para sejarawan. Penekanan sifat ultra nasionalis dan retorika sebagaimana terdapat dalam karya-karya sejarawan amatir Indonesia pasca kolonial, seperti “Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih”, “Sentot Alibasya”, “Pahlawan Diponegoro” dan sebagainya, jelas pengingkaran terhadap peran rakyat dalam peristiwa-peristiwa kepahlawanan tersebut. Tak urung, menurut Bambang karya-karya sejarah “serius” pun, seperti tesis S2 dan disertasi S3 tak bisa lepas dari paradigma sejarah di atas. Misalnya karya klasik sejarawan senior Sartono Kartodirdjo “Pemberontakan Petani Banten” dan perbanditan di laut oleh A.B Lapian.

Selama setengah abad ini historiografi kita sebagai bangsa tak mampu menghadirkan eksplanasi objektif terhadap peran rakyat secara optimal. Situasi ini merupakan penyebab kegagalan narasi sejarah kita sebagai bangsa di tangan sejarawan. Idiom rakyat tanpa sejarah, sejarah tanpa rakyat, perempuan tanpa sejarah atau sejarah tanpa perempuan merupakan realitas penulisan sejarah bangsa selama ini.

Kini seiring maraknya euforia otonomi daerah muncul kecendrungan tiap daerah menulis sejarahnya berdasarkan perspektif daerah mereka sendiri; daerah sentris. Namun, kajian dan penulisan sejarah yang dilakukan itu kembali meminggirkan peran rakyat merajut identitas kelokalan mereka karena perspektif yang dimunculkan lebih bersifat politis atau proyek di tangan para sejarawan. Dalam situasi itu, sulit bagi sejarawan memberi porsi besar bagi narasi sejarah rakyat, karena ia bersifat “pesanan”.

Memang pada akhirnya, tak bisa dipungkiri juga, para sejarawan yang terlibat, dan karya sejarah yang lahir itu, tak bisa lagi menghindari cengkraman kekuasaan sebagai objek legitimasi. Dalam artian lain, kita sebagai orang awam dan sebagai bangsa ternyata belum memiliki sebuah narasi sejarah yang ditulis demi kepentingan rakyat banyak, kecuali untuk elite atau penguasa. Sehingga tak mengherankan jika situasi ini melahirkan isu gagalnya historiografi Indonesia, dan kini menjadi polemik di antara para sejarawan di tanah air.

Gagalnya historiografi Indonesia itu jelas berdampak besar bagi identitas kita sebagai bangsa. Buah renungan dan pemikiran, patriotisme dan sumbangan harta-nyawa pejuang ternyata tak berarti dibanding keberadaan satu dua tokoh bangsa atau faktor Belanda sebagai penjajah. Menurut Bambang dalam bukunya, semestinya arah dan perspektif baru penulisan sejarah di Indonesia hari ini tak mesti bermakna kepahlawanan saja. Ada keharusan membuka wawasan sejarawan terhadap kajian sejarah yang “biasa” dari kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan, sehingga bersifat lebih manusiawi, the every day life history. Sehingga sudah saatnya narasi sejarah bangsa ini tidak lagi sebagai tameng pembenaran para pahlawan atau tokoh besar. Sebab dalam konteks inilah dijumpai pahlawan yang mitologis (yang dimitoskan karena ada unsur politik). [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan. Gratis dan sangat membantu update blog ini/Red]

Sunday, October 14, 2012

Local Newspapers and Violence in Indonesian Journalism (1965-1975)


This paperdiscusses about hidden violence in Indonesian journalism, particularly localnewspapers that published at Padang, West Sumatra, Indonesia. They are“Angkatan Bersenjata”, “Aman Makmur”, “Haluan”, and “Semangat”. In west Sumatra, they are one of many generate of violence with their news and articles about communist party and its follower’s organization. This paper calls it a verbal violence. 

Their news and articles have gone down a lot of abhorrence into the communist, mainly on months before, the episode, and after The Movement of September 30th. Many words refer to drive the peoples into social’s scream about communist. Atheist, betrayer of nation, killer of Muslims, a social treatment, etc, are idiom that they used. 

For the reader, those idioms have created negative stigma about communist and show them that revenge is a good way to erase the communist party in their land, especially after gloomy period of PRRI (The Indonesia Republic Revolutionary Government) in 1958.

For the Minangkabau people, PRRI is a correction to Jakarta and they feel that they have moral task to remain Jakarta. History of PDRI (The Indonesian Emergency Government) has given them legitimate—wasn’t caused PDRI the republic still exist?—to do it. 

However, PRRI had defeated, and the Minangkabau people becoming discourage by the communist. They hate the communist, but they also fear. The defeat brought them into a deep anger but powerless. In other situation, the traditional leaders (datuak), the mosleem natives, and nationalist local leaders are triumvirate in Minangkabau society, but they have been intimidating by Pemuda Rakyat (Communist Youth Organization). Because of had been beaten, for a lot of Minangkabau people, period of 1958-1965 had driven them to an abhorrence tradition, a tradition of violence to the communist components, but in silence. 

Nevertheless, months before The Movement of September 30th, physically and verbal violence became solution every conflict between most Minangkabau people and communist in sporadic, yet in the media. Soon Suharto announce to liquidate Communist Party and its component, in West Sumatra local newspapers are also energetic in writing to clear up them and provocation young people to destroy many symbol of communist in town.

In ten year periods (1965-1975), Army and Muslim people whom anti-Communist are vital cause of killing hundred thousand of communist, including in West Sumatra occurred during the cleansing of PKI. And media, local newspapers, has caused the collective action and inspiring local people to become part of the systematic cleansing of the communist with words. For that goal, the media use many dirty words for Minangkabau people selves do not uses in daily. 

Many writings have talked about Indonesian killing in 1965-66, but little has revealed how the local newspapers play an important role on it. Analyzing four contents of local newspapers role in West Sumatra during 1965-1975, I argue the media contributed significantly to resurgence of violence with provocation words into communist.

Living in the Street: Mother Role dynamics in Matrilineal System in Minangkabau, West Sumatra 1997-2008


Minangkabau lived in self-supporting villages called nagari and large family houses, known as rumah gadang which were collectively owned and occupied by a matrilineal extended family unit called the kaum. The Minangkabau family unit consisted of all the relatives who were members of the matrilineal kaum. For Minangkabau families, matrilineal systems are social, and culture safety nets. This system also assurance and feed all families with tanah ulayat or customary land.

Indonesian crisis called krismon (monetary crisis) in 1997 have changed those situation. Job and income loss and certification of tanah ulayat become individual own are sources family economic stress in years after of crisis. It also impact into marital relationships, and parent-child interaction or relationship. As result, women as mandeh (mother) lost her property right and guaranteed source of protection and support of the kaum. In past time she is queen of rumah gadang, but now street become new home to growth of her children while the kaum more individual.

There aren’t many mothers want to growth her children in the street. But one thing for sure, terms of beggar is become into a new of Minangkabau vocabulary that was nameless. Peoples called them with anak jalanan and amak jalanan (street’s mother) or the street family—include of father, mother, and child. In the last decades, the street families were raising in West Sumatra cities and its road become new vehicle of norms of Minangkabau family. Beside, existences of the street family are part of resistance of the traditional Minangkabau social structure and potential challenger to the royalty as the symbol of the "great tradition”. In the street, mother teaches her children about norms, good-evil, right-wrong, who they are-what they are, and many things on life. But occasionally, mother, by family economy stress, address her children into as beggar and prostitute.

Tuesday, October 9, 2012

Gerakan Protes di Rural Java Sartono Kartodirdjo IV


Sartono dalam buku ini selain menjelaskan paradigma ilmu-ilmu sosial apa yang ia gunakan. Ia juga menjelaskan bagaimana secara metodologis karya sejarahnya ini dibuat dan dipertanggungjawabkan. Ia membuatnya dalam beberapa rumusan masalah.

Rumusan-rumusan masalah ini menurutnya untuk memudahkan melihat asal, perkembangan, struktur, dan hasil dari gerakan protes sosial itu. Untuk itu ia membaginya dengan; pertama, (seperti apakah) struktur ekonomi-politik di pedesaan Jawa pada abad ke-19 dan ke-20 itu; kedua, (apakah) basis massa dari gerakan sosialnya; ketiga, (bagaimanakah) kepemimpinan dari gerakan sosial itu; keempat, (apakah) ideologi gerakan-gerakan sosial itu; kelima, keadaan kultural (seperti apakah) dalam masyarakat Jawa yang mesti ditemukan sehubungan kemunculan gerakan-gerakan sosial tersebut (h. 4).

Menurut Sartono struktur ekonomi politik di pedesaan Jawa abad ke-19 itu dibentuk oleh penetrasi yang cepat dari ekonomi kolonial (h. 5). Pemerintah kolonial dalam hal ini berusaha mengenalkan hukum dan hubungan sosial baru menyangkut masalah agraria dan buruh. Pengalihan lahan ke sistem penanaman tebu, salah satunya menurut Sartono, menjadi salah satu esensi utama dari kerusuhan sosial ini. Lebih lanjut disebut Sartono, faktor ekonomi dalam mengkaji gerakan petani merupakan unsur yang paling jelas, karena terkait dengan persoalan pajak dan wajib kerja yang dibebankan kepada mereka (h.5).

Yang kedua, basis masa dalam gerakan tersebut di jelaskan Sartono. Bahwa karakteristik geografi, politik, ekonomi, dan sosio-kultural dari petani tradisional merupakan produser dari konflik, serta biasanya memudahkan para petani itu diorganisir melakukan protes (h. 6). Selain itu, unsur lain yang membangun keberadaan basis massa ini diurai Sartono terkait dengan aspek alienasi secara struktur sosial (h.6). Para birokrat yang elitis menjauhkan mereka dari petani di pedesaan, namun kuasa mereka justru menggapai para petani itu secara gamblang (h.7).

Monday, October 8, 2012

Gerakan Protes Sartono Kartodirdjo III

Dari penjabaran empat tipe gerakan protes dalam buku Sartono, asosiasi pemimpin sebagai Imam Mahdi dan kemunculan Ratu Adil berkelindan dalam setiap gerakan protes yang terjadi. Ini misalnya tampak pada gerakan Tjiomas (h.31-2) atau Sarekat Islam lokal. Selain itu, yang tak kalah menarik adalah keberadaan gerakan Igama-Jawa Pasundan dan Sarekat Elmu. Dua gerakan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan gerakan sekte atau tarekat Islam seperti Budiah, yang terkait dengan tarekat Islam, seperti Naqshbandiyah-Kidiriyah (h. 118).

Dari segi nama, Jawa-Pasundan, sekte ini tampaknya hendak menyatukan dua etnis pulau Jawa yang kemudian dihadapkan pada ortodoksi Islam yang dianggap menghancurkan kejayaan tradisi Jawa-Pasundan. Ada kemungkinan sekte ini didukung pemerintah kolonial Belanda. Ini dapat dibuktikan dengan pernyataan atau credo sekte mereka; bersetia [ada Seri maha Baginda Ratu Gouvernement Blanda (h. 129). Selain sekte ini, kelompok gerakan anti-Islam ini juga terdapat Hardapusara yang dipimpin Mashadi di Banjumas tahun 1920 dan Ilmu Sedjati di Yogyakarta (h. 130). Yang patut juga disebut, yang mungkin menghilhami Geertz menulis bukunya Religion of Java (1960), adalah gerakan Islam-Abangan di Surakarta  yang dipimpin Ranawaskita dan Mangunatmadja (h. 131). Sementara pada gerakan Sarekat Elmu, yang dipimpin Hadji Nawawi, yang menarik dari sini adalah bagaimana sebagai seorang ulama ia juga memadukan unsur-unsur tradisi seperti ajian-ajian atau jimat-jimat, serta keberadaannya yang dikenal sebagai dukun (h.136-8). Pada gerakan Sarekat Elmu tidak ada pembatasan yang tegas antara doktrin Islam yang ketat dengan unsur nilai-nilai tradisional Jawa yang memunculkan sinkretisme dalam ideologinya.

Studi Sartono dalam buku ini menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam metodologi sejarah. Ia mempertegasnya lewat persilangan studi sosio-antropo-historis (h. 1). Pemakaian pendekatan yang multidisiplin ini menurutnya membuka wawasan yang lebih jelas dan luas atas berbagai masalah yang masih menunggu untuk diteliti. Masalah-masalah itu diantaranya adalah perubahan struktural masyarakat Jawa, pertarungan kekuasaan dan konflik dalam elite, penggunaan kepercayaan tradisional dan ideologi oleh pemimpin-pemimpin agama untuk menaikan daya genggam mereka, serta banyak lagi (h. 2). Oleh luasnya subject-matter dari aspek-aspek inilah, pendekatan yang multidisiplin menjadi pintu masuk yang tepat (h. 3).

Sebagai sebuah fenomena yang kompleks, studi gerakan sosial dalam hal ini gerakan petani di Jawa menurut Sartono tidak dapat dijelaskan dengan memuaskan jika terkunci pada satu faktor penentu semata. Biasanya para sejarawan convensional berkutat pada pada faktor ekonomi atau politik semata. Ditegaskan Sartono, hanya dengan kombinasi berbagai varian paradigma ilmu-ilmu sosial lain, kompleksitas penyebab sebuah gerakan petani tersebut dapat merangkum dan mengisahkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Maka dari itu, untuk menguatkan perspektifnya ini, Sartono menekankan adanya faktor-faktor penentu lain, selain ekonomi. Faktor-faktor itu adalah hubungan patron-klien, politik, sosial, kondisi-kondisi ekonomi, kelembagaan, dan ideologi (h. 3).

Dalam menganalisis kasus gerakan protes petani Jawa dalam buku ini, Sartono lebih jelas menguraikan langkah-langkah tiga paradigma utama analisisnya. Pertama, dalam konteks paradigma antropologi politik. Dalam paradigma ini Sartono memfokuskan pada paradigma actor oriented untuk memahami proses-proses ekonomi, sosial, dan politik secara umum. Kedua, paradigma sosial, dimana ia menekankan pada solidaritas kelompok dan konflik; norma-norma, nilai dan perilaku yang membentuk dan menciptakan kondisi gerakan; karakter dari institusi sosial yang ada, dan peranan kelompok elite dalam mencapai kekuasaan. Di sini Sartono menitikberatkan perhatiannya pada bagaimana sistem nilai tradisional menolak perubahan sosial. Ketiga, dalam konteks paradigma sejarah, Sartono berusaha mengenali keunikan, kekhususan, atau kekhasan karakter peristiwa yang dianalisisnya dalam buku ini (h. 3).
[Bila suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan, gratis. Sangat membantu update blog ini. Terima kasih...]

Saturday, October 6, 2012

Gerakan Protes Sartono Kartodirdjo II

Dari pemerasan ke Sarekat Islam Lokal
Secara temporal kajian Sartono ini mengambil kurun waktu dari tahun 1845 ketika terjadinya kerusuhan Tjikandi Udik (h. 22), di akhiri pada tahun 1935 ketika terjadinya Genuk Affair (skandal Genuk) di daerah Demak, Jawa Tengah (h. 59). Dalam riset yang tertuang dalam bukunya ini, Sartono memfokuskan pada hampir sebagian besar daerah-daerah di Jawa yang terkait dengan kebijakan kelonial akan tanah atau perkebunan. Diantara daerah-daerah yang menjadi areal kajiannya adalah Batavia, Bogor, Tjiomas, Banten, Tjirebon,Pemanukan, Tjiasem, Semarang, Surabaya, dan banyak lagi. Dari batasan waktu dan spasialnya, Sartono ingin menunjukan ada begitu banyak gerakan-gerakan protes di pedesaan Jawa ketika interaksi dengan kolonial Belanda—yang mulai mengenalkan sistem kapitalisme dan pendukungan terhadap pembangunan infrastruktur yang mendukung kepentingan pihak Belanda—terjadi.

Gerakan-gerakan protes itu dibagi Sartono dalam empat kategori; pemerasan, mesianisme, revivalisme dan sektarianisme, serta peranan Sarekat Islam lokal terhadap gerakan-gerakan protes tersebut. Sartono berusaha menjelaskan bagaimana gerakan itu muncul, siapa yang menggerakannya, bagaimana prosesnya, nilai-nilai ideologis dan terminology keagamaan apa yang dipakai, dan organisasi sosial apa yang terlibat. Kajian ini jelas sebuah penjabaran yang rinci dan luas. Dan Sartono, di setiap topik gerakan protes itu dengan baik mengurai unsur-unsur penjelasan dari gerakan protes tersebut.

Sekitar tigapuluhan gerakan yang tersebar dari Jawa Barat sampai Jawa Timur yang dijabarkan Sartono dalam karyanya ini yang kemudian menyebar ke berbagai daerah sekitar. Beberapa daerah yang terkena imbas, bahkan bagian dari gerakan-gerakan protes itu diantaranya, Kaputra Kidul, Kaputran Lor, Sawahan Bagong, Kembang Kuning—menyebut sebagian dari daerah tersebut—dan banyak lagi (h. 37). Selain itu terdapat juga daerah seperti Damarsi, Kebonpasar, dan Samentara, yang merupakan daerah-daerah yang terlibat dalam gerakan mesianik Haji kadir dari Babakan (h. 88-90).

Dari empat tipe gerakan protes di pedesaan Jawa dalam bukunya ini. Sartono mengurainya menjadi tiga orientasi gerakan protes; versus aparatus kolonial, versus Islam sebagai ideologi dan komuniti, dan versus masyarakat (society). Dari tiga oritensi gerakan protes itu yang paling banyak ditujukan adalah pada keberadaan kebijakan kolonial Belanda. Gerakan-gerakan itu diantaranya; gerakan Tjiomas di tahun 1886 yang merupakan konflik antara para penanam, pemilik tanah, dan pemerintah kolonial (h. 27); protes warga Pamanukan dan Tjiasem pada 1913 terhadap Regen Purwakarta terkait pembebasan diri mereka beban berat kerja paksa (h. 33); gerakan Entong Gendut di Batu Ampar dan Tandjong Oost tahun 1916 (h. 49); gerakan Budiah yang dipimpin Hadji Mohamad Rinfangi Kalisalak di awal abad ke-19 (h. 118); gerakan Igama Djawa-Pasundan yang melakukan purinisasi tradisi Jawa dari nilai-nilai keislaman di tahun 1925 (h. 127-8); dan gerakan yang dilakukan Sarekat Elmu yang terjadi di desa Mangkunegara di tahun 1920, yang diduga melakukan empat hal yakni memaling (committing theft), merampok (burglary), ngebegal (robbery), serta anti terhadap kepala desa dan polisi (h. 136).

Umumnya para penggerak gerakan protes terhadap berbagai institusi itu adalah para elite tradisional yang memiliki otoritas keagamaan atau spiritual. Pada kasus gerakan Tjiomas, penggeraknya bernama Apan yang berperan sebagai Imam Mahdi dan Mohamad Idris di Tjampea yang memakai gelar panembahan dalam gerakan mesianiknya (h. 31). Selain itu, para hajilah yang menjadi aktor utama dari gerakan protes di pedesaan Jawa, termasuk ketika gerakan itu di bawah arahan organisasi Sarekat Islam Lokal.

Yang paling menarik dari ideologi dan terminologi yang dipakai untuk menggerakan massa dalam setiap gerakan-gerakan protes yang dilakukan, adalah kepercayaan atas “Imam Mahdi” dan “Ratu Adil” (Just King). Terminologi Imam Mahdi merupakan sebuah ideologi keagamaan dalam masyarakat Muslimin, sementara Ratu Adil merujuk pada kepercayaan tradisi Jawa kuna (h. 32). [Bila anda suka artikel ini silahkan klik  iklan dihalaman depan. Gratis dan sangat membantu. Terima kasih]

Friday, October 5, 2012

Gerakan Protes Sartono Kartodirdjo: Bagian I


Pengantar
Tidak mudah bagi petani dimana pun sesungguhnya bergerak atau melakukan gerakan protes. Pandangan dunia mereka yang terbatas dan cenderung pasif mendorong sifat-sifat pasrah dan berlindung di balik alasan nasib atau kuasa-kuasa transenden pada setiap efek buruk yang menimpa mereka; misalnya banjir, tanah longsor, gagal panen karena berbagai sebab, serta himpitan politik lokal ketika terjadinya perang. Maka dari itu, munculnya fenomena gerakan petani yang meluas di kawasan Asia Tenggara—kawasan yang memiliki akar panjang pada sejarah pertaniannya—pada abad ke-19 dan seterusnya menimbulkan berbagai pertanyaan spekulatif dan hipotetif; faktor apa yang melatari atau mengapa mereka bergerak?

Jika kapitalisme Barat yang imperialis itu yang menjadi sumber petaka. Apakah kapitalisme Timur yang juga imperialis jauh sebelum abad ke-16 yang menguasai kawasan ini sesuatu yang mesti ditepikan? Bila kita menelusuri berbagai literatur kesejarahan kontemporer, persoalannya jelaslah bukan pada persoalan Barat atau Timur-nya. Tetapi pada titik ruyaknya yang bersifat sistemik, sehingga ketika mengkajinya pendekatan yang multidisiplin menjadi salah satu alternatif dalam mengcover satu periode yang jauh dari jangkauan imajinasi kita hari ini. Jika sejarah dalam objeknya yang luas itu begitu asing, lebih asing lagi membatasinya pada satu periode dan satu wilayah saja.

Jawa pada kurun beberapa abad lalu bagi kita sangatlah asing dalam perspektif metodologi sejarah yang empiris. No written no history menjadi paradigma ketat atas satu penulisan sejarah (historiografi) yang ilmiah. Meski di Jawa ada tradisi babad atau serat, namun itu belum cukup bahkan “haram” dipakai sebagai sumber sejarah yang empiris itu. Maka satu-satunya pencerahan adalah pada arsip-arsip kolonial yang dengan rapi mencatat berbagai gejolak yang terjadi, termasuk di Jawa pada abad-abad yang disebut periode Hindia-Belanda. Demikianlah, Jawa menjadi satu “kotak pandora” dalam aksara-aksara kolonial yang menyimpan berbagai hal menakjubkan; salah satunya catatan atas gerakan petani Jawa yang meluas di berbagai tempat sejak paruh terakhir abad ke-19 dan ke-20.

Ada dua kata utama yang menandai Jawa abad ke-19 dan ke-20; modernitas dan kapitalisme-kolonialis. Dua kata ini adalah satu kesatuan yang mencirikan zaman (zeitgeist) kala itu. Pembukaan perkebunan besar yang disertai sistem ekonomi liberal mendorong penerapan teknologi terkini yang berakibat pada transformasi sosial dan penerapan konsep-konsep modernisme di tanah Hindia-Belanda. Beberapa daerah di Jawa, seperti di Priangan, Tegal, Madiun, Semarang, Surabaya, dan banyak lagi tersunglap dari satu daerah rural menjadi urban/ suburban oleh laju dinamika penerapan teknologi tersebut. Segera sawah beralih fungsi sebagai lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau, dan petani-petani pun beralih profesi karena kesempatan yang dibuka oleh keadaan itu.

Periode kapitalisme-kolonialis di paruh pertama abad ke-19 memang membuka berbagai kesempatan ekonomi, sekaligus mobilitas sosial orang-orang yang mau berasimilasi ke dalam sistem yang baru itu. Namun, secara sistemik perubahan itu juga mendatangkan berbagai persoalan di tingkat akar rumput seperti petani Jawa yang terkena dampak langsung oleh adanya sistem kapitalisme-kolonialis tersebut.

Bagi petani dengan pandangan dunia yang terbatas itu, tanah dan kemerdekaan individu merupakan segala-galanya. Ketika tanah tidak lagi memberi arti secara ekonomis, maka ketika itulah pegangan hidup mereka menjadi hampa dan mudah terombang-ambing. Begitu juga pada kemerdekaan individu mereka ketika tanah-tanah yang dimiliki digadai dalam batasan waktu lebih satu generasi (sampai 75 tahun), baik yang dilakukan secara sadar ataupun lewat intimidasi, tidak ada alternatif lain selain menyatukan diri pada kelompok “orang-orang yang kalah” yang siap untuk digerakan—bila istilah Tan Malaka dalam Massa Aksi kita gunakan.

Karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Ninetheenth and early Twenthieth Century kurang lebih memfokuskan bagaimana kaum tani di pedesaan Jawa di abad ke-19 dan awal abad ke-20 bergerak oleh desakan sistem kapitalisme-kolonialis Belanda. Buku ini merupakan kelanjutan eksplorasi kesejarahan dengan topik yang sama yang dilakukan Sartono pada karya magnum opus-nya the Banten Revolt of 1888.

Sartono Kartodirdjo merupakan embah sejarawan Indonesia. Ia merupakan salah seorang peletak dasar kajian sejarah ilmiah yang banyak diikuti generasi berikutnya. Pendekatan multidisiplin yang ia kenalkan mempengaruhi corak dan warna historiografi Indonesia mutakhir, salah satunya lewat bukunya ini.

Buku ini terdiri dari enam bagian yang dimulai dengan pendahuluan, dan diakhiri oleh kesimpulan. Buku ini juga dilengkapi dengan peta-peta pulau Jawa di awal abad ke-20, serta index yang cukup luas. Bagian-bagian itu adalah; pendahuluan, gerakan anti-pemerasan, gerakan mesianisme, gerakan sektarianisme dan pembaruan, gerakan Sarekat Islam lokal, dan kesimpulan.[bila anda suka dengan artikel ini mohon klik iklan di bawah atau di halaman depan. Gratis. Terima kasih]
***

Wednesday, October 3, 2012

Daina dari Koto Gadang


Judul Buku : Koto Gadang Masa Kolonial
Penulis : Azizah Etek, Mursjid A.M, Arfan, B.R
Penerbit         : LKiS, Yogyakarta, 2008
Tebal : 326 halaman


“Dengan penuh harapan dan perasaan kami, pertimbangkanlah penghuni (perempuan) Koto Gadang ingin perubahan”
(Petisi Hadisah, 6 Mei 1924)

Daina adalah gadis perantau dari Koto Gadang di Medan. Luasnya pendidikan di daerah asalnya telah membawanya keluar dari nagari yang tahun-tahun 1920-an masih terikat pada pertanyaan; siapakah yang pantas disebut sebagai orang Koto Gadang. Ia bekerja sebagai post asisstent di Kantor Pos Medan. Tak mau kalah dengan perantau laki-laki lainnya, namanya pun masuk ke dalam daftar donatur pembangun nagari para “engku-engku doto” itu.

Pada satu hari dia jatuh cinta dan kawin di Deli dengan laki-laki muslim pilihannya bernama Pomo, kawan sekantornya yang berasal dari Jawa. Entah paham atau tidak, mungkin juga karena pendidikannya yang sudah maju, ia terlupa bahwa “haram” hukumnya gadih Koto Gadang kawin dengan orang dari luar. Seorang perempuan dari negeri asalnya hanya boleh kawin dengan laki-laki dari Koto Gadang.

“Membaca dan memperhatikan kerapatan penghulu-penghulu itu telah juga paduka yang mulia ada heran pula sebab selama paduka bermukim di Bukittinggi barangkali paduka belum pernah mendengar bahwa sudah dari dahulu kala perempuan di Koto Gadang tidak boleh kawin dengan laki-laki lain yang bukan dari empat koto (Sianok, Koto Gadang, Guguk, dan Tabek Sarojo). Untuk itu sebagai hukuman, Daina dijatuhi hukuman buang tingkarang yang berarti: dikeluarkan sepanjang adat. Jikalau ada ninik mamak atau kaum keluarga menerima Daina dengan baik jika ia datang ke Koto Gadang, maka orang-orang itu keluar pula dari sepanjang adat di Koto Gadang” (Surat oleh redaksi Soeara Koto Gadang kepada Van Rokel).

***
Koto Gadang, nagari di barat Bukittinggi, di seberang Ngarai Sianok sangat kuat mempertahankan adat. Akan tetapi dalam waktu bersamaan Koto Gadang merupakan daerah pertama yang membuka diri terhadap pengaruh luar, khususnya pendidikan Belanda di Sumatera Barat. Pendidikan Barat bertemu dengan kekolotan adat!

Membaca atau mendengar nagari ini membawa orang pada nama besar Haji Agus Salim. Selain Salim, Koto Gadang juga pernah melahirkan tokoh seperti Syaikh Khatib Al Minangkabauwi dan Abdul Rivai. Selain itu, tak ada wilayah lain di Sumatera Barat yang paling dipengaruhi sistem pendidikan Belanda yang berseberangan dengan Padangpanjang di sisi lain, yang kuat dengan  tradisi keislamannya.

Namun, sesungguhnya ada satu hal yang jarang ditulis atau diperhatikan adalah keresahan kaum perempuan Koto Gadang sebagaimana diungkapkan buku ini. Meski awalnya buku ini mengajak kita bertamasya ke masa lalu ke nagari para engku-engku itu, namun buku ini banyak mengungkap bagaimana sebuah pembaruan sikap para perempuan Koto Gadang yang tak mau lagi diatur berdasar aturan patriarki kaumnya.
Kasus Daina adalah salah satu kasus pembuka dalam buku ini. Secara gamblang ia mengisahkan perlawanan dan polemik besar yang muncul dari “penyimpangan” itu yang diikuti kemudian apa yang disebut sebagai “Petisi Hadisah” tahun 1924. Satu semangat yang ingin mereka sebarkan adalah: perubahan dan emansipasi. Petisi itu juga bahkan lebih canggih dari gerakan emasipasi Kartini di zaman yang zaman.

Buku ini menarik karena ditulis berdasarkan pembacaan romatik akan masa lalu. Tinggalkan segala tata krama penelitian sejarah ilmiah karena buku ini memang ditulis oleh sejarawan profesional. Namun demikian, salah satu kelemahan buku ini adalah ia terlalu “ringan” sebagai sebuah buku sejarah serius, atau mungkin demikian maksud para pengarang. Penulis adalah pecinta sejarah. [Bila anda suka artikel ini silahkan klik iklannya, gratis]

Tuesday, October 2, 2012

Hatta's Corner: Setia dalam Penantian, Sepi dalam kesendirian


hatta's-corner-UGM's-library
Hatta Corner merupakan pusat koleksi pribadi Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI. Letaknya di lantai tiga pustaka pusat UGM, Yogyakarta. Ruangnya cukup luas dan nyaman. Sebuah foto besar Hatta terlihat menggantung di sisi kanan pintu masuk; tersenyum dan seakan mempersilahkan pengunjung menikmati kumpulan buku-buku yang dirawatnya sejak menjadi siswa MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau Sekolah Menengah Pertama) di Padang.

Ada satu orang pengelolanya. Namanya Pak Margiono. Beliau ramah, khas Yogya, melayani para pengunjung yang membutuhkan beragam informasi di Hatta Corner. Dengan sabar dan telaten Pak Margiono menjaga sekitar empat ribu lebih koleksi Hatta Corner ini.

hatta's-corner-UGM's-library-room
Koleksi milik Hatta Corner beragam. Ada buku, majalah, bundel Kolonial Verslag (laporan kolonial Belanda), Lembaran Negara (Staatsblad) masa Hindia-Belanda, peta, foto-foto, dan lain-lain. Topiknya pun beragam seperti politik, sejarah, ekonomi, budaya, dan karya sastra dari berbagai negara seperti India, China, Korea, dan lain-lain. Ada yang beratnya cuma kurang satu kilo, tapi ada juga yang hampir 10 kg. Ada yang berbahasa Indonesia, Inggris, Perancis, Jerman, dan China.

Sebagian buku-buku atau majalah di sini barang langka. Ada sebagian yang telah berusia 500 tahun. Topik tentang sejarah Indonesia merupakan koleksi paling banyak di Hatta Corner. Tak heran sering mahasiswa sejarah UGM, S1 sampai S3 menghabiskan waktunya di ruangan ini, tetapi banyak juga dari bidang ilmu lain seperti sastra, politik, bahkan biologi.

Sepi
Menurut Pak Margiono, paling banyak dua atau tiga orang saja datang ke Hatta Corner setiap harinya. Paling lama mereka “bertahan” cuma tiga jam, setelah itu pergi lagi ke layanan lain perpustakaan pusat UGM. “Maklum, mungkin karena sepinya mereka jadi tak betah”, kata Pak Margiono.

Seorang mahasiswa sejarah mengatakan, ruangan Hatta Corner ini berhantu. Semakin ke ujung memeriksa buku-buku dari latanah silam itu semakin merinding bulu kuduk dibuatnya. “Ada aura-aura kolonial gimana, gitu”, jelas Doni.

Lain halnya Yayuk, mahasiswa pascasarjana sejarah UGM. Ia kerasan berlama-lama di Hatta Corner. Selain sepi, koleksinya pun cukup lengkap tentang sejarah Indonesia masa kolonial. Diakuinya waktu menulis skripsi dulu, koleksi Hatta Corner memberi bahan sejarah melimpah. “Daripada ke Pustaka Nasional atau Arsip Nasional, Jakarta. Selain jauh dan makan biaya, kan mending di sini. Gak bayar lagi,” sebutnya.

Fadly, mahasiswa pascasarjana sejarah yang lain mengamini pendapat Yayuk. Menurutnya koleksi Hatta Corner cukup memuaskan. Ia bebas memfoto atau meng-copy sumber-sumber sejarah yang ada. Ia berniat membantu Pak Margiono mendigitalisasi karya-karya langka yang ada di sini. “Lumayan, Mas. Sembil menyelam minum air, sambil cari data kan dapat juga membantu menyelamatkan koleksi langka di Hatta Corner. Udah banyak yang mulai hancur, sayangkan jadinya,” kata Fadly.

Menyelamatkan
Kalau dikira-kira dua pertiga koleksi Hatta Corner memang mulai rusak sedang sampai parah. Pengunjung disarankan memakai masker dan sarung tangan karet kala membuka lembaran-lembaran buku atau majalah lama. Tetapi tetap saja ada yang nakal. Bundel kolonial verslag dari tahun 1915-1917 tampak awut-awutan. Banyak halamannya yang sobek dan lepas. Selain itu ada juga yang mulai rapuh karena tidak dijamah, sehingga debu yang melekat menjadi parasit yang menyebabkan covernya seperti berkarat.

Menurut cerita Fadly, pihak jurusan sejarah UGM dan Hatta Corner telah bersepakat mendigitalisasi semua koleksi tinggalan Hatta itu. Proyek ini dipimpin Prof. Dr. Djoko Suryo, seorang sejarawan senior UGM. Tetapi entah kenapa belum tampak kesibukan digitalisasi itu. “Mungkin terkendala biaya,” sebut Fadly.

Kurangnya perhatian dari berbagai pihak terhadap koleksi Hatta Corner ini cukup memprihatinkan. Perlu kiranya penyelamatan atas koleksi di Hatta Corner, tidak saja karena siapa yang mewarisi, tetapi juga kekayaan intelektual yang dikandungnya.

Lebih banyak lagi info review dengan mengklik Note Reviews

Sunday, September 30, 2012

From Children of Colonial to Founding Fathers of Republic: The Shaping of Colonial Society and Habitus in West Sumatra, Indonesia 1905-1942

For many years, study on colonial runs on two different paths in Indonesia. On the one hand it contains “the truth” of colonialism as a way to civilized Indonesian peoples in Netherlands East Indies. On the other hand, colonialism is categorized as ghost and the destruction way to restore the once glorious of the past of Indonesian society. In this side, decolonialization—different meaning to decolonization—has an echo sound for a decade. Interesting question on it following; what was the colonial state? It was true that the colonial state project was mother land in Europe policy? Or it was a conspiratorial between colonial government and local elites? Considering both of these question, I assume that in specific context of the colonial state in local level. It was a house of colonial; a house where both colonial apparatus and local people can live together and supporting each other. So it happened in West Sumatra during 1905-1942. First, West Sumatra and its populace, Minangkabaunese, have played important role during colonial time and at the beginning of republic of Indonesia. Many of Indonesian prominent leaders were born in this region and grew up by colonial System. They are such as Tan Malaka, Hatta, Agus Salim, Sjahrir, and more. Second, during 1905-1942, Minangkabaunese and West Sumatra area became part of the colonial state. They felt comfortable with the colonial situation. The period was a convenient era for many Minangkabaunese, particularly penghulu. Their descendants might occupie their positions as ambtenars or colonial officers. Kwekschool or Sekolah Radja, Teluk Bayur harbor, and train connecting countryside to cities such as Bukittinggi or Padang have become a supporting infrastructure of the colonial state in West Sumatra. For thirty seven years, the colonial state had transformed into a “house” for Minangkabaunese. This paper will discuss how colonial in West Sumatra, during 1905-1942 has provided a vast opportunity to Minangkabaunese? How was the formation of the house of colonial in West Sumatra? What were the socio-cultural structures developed in that formation? And what were ideas that produced within habitus—if Bourdieu’s term can be used—arena through symbolic and cultural capital?

Minangkabaunese’s Merantau: Imagined Identity through Conflict Between Darek and Rantau at West Sumatra Indonesia 1999-2009

Padang’s restaurant is one of the important pointer of the Minangkabaunese’s merantau to another area and abroad. The merantau itself can not be divided from their adat—is usually defined as that local custom which regulates the interaction of the members of a society—for many long times ago. Merantau is interdependent relationship or conflict of darek and rantau. The conflict itself is seen dialectically, as essential to achieving the integration of the society. The darek benefited from wealth and innovation brought in from rantau. The darek furnished the rantau with an identity as part of Minangkabau world’s ideology. At 1999 after fallen of Suharto, the ideology was constricted to construct identity called adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABSSBK) [custom based on canon, canon based on the Book of Allah] within West Sumatra society. Merantau on this position is seen not merely area migration, but is the journey of response of social change at the time. Foundings of the research point out that interconnection of traditional leader, religious leader, and government official have boosted collective contestation on that identity. The contestation takes place due to several causes. First, divergent and increasing awareness of traditional leaders towards authority and elegance of Minangkabau tradition in response to the government’s political interest. Second, mainstreaming Islamic values in the space of ABSSBK. Third, wild state intervention in spheres of socio-cultural and religious Minangkabaunese. As a consequence, people regarded as modern Minangkabaunese for ulama (Muslim scholar) and local government officials are those who are Muslims, highly swayed by Minangkabau culture and stay in West Sumatra. In truth, state and Islam do not take whether people adopt matrilinealism or not into account. Different from the previous two parties, traditional leaders actively explore every avenue to preserve noble tradition and integrate it into local-based curriculum, like Minangkabau, Nature and Culture (BAM).

Saturday, September 29, 2012

Hubungan Cina-Pribumi di Wilayah Pakualaman, Yogyakarta 1901-1902

Orang Cina di Pakualaman masa Paku Alam VI memiliki hubungan yang unik dengan penduduk pribumi. Keduanya sering terlibat transaksi yang saling menguntungkan, namun tak jarang berujung pada sengketa. Beragam sengketa dibawa ke Asisten Residen Yogyakarta yang kemudian diselesaikan di Pakualaman, di bawah kearifan Adipati Ario Paku Alam VI. Ada dua hal menarik dari hubungan Cina-Pribumi ini; sengketa di antara mereka, dan peran yang dilakonkan Asisten Residen vis a vis dengan Paku Alam VI.

Sengketa antara orang Cina dan pribumi di Pakualaman menimbulkan dua sistem hubungan birokrasi. Orang Cina yang secara strata diakui lebih tinggi dari pribumi dalam sistem kolonial mendapat posisi yang lebih kuat. Mereka dengan mudah membuat surat pengaduan akan perselisihan mereka dengan orang pribumi kepada asisten residen Yogyakarta. Asisten residen pulalah yang kemudian “menekan” Adipati Aria Paku Alam VI mempertemukan dua orang bersengketa itu dan menyelesaikan persoalannya. Setelah persoalan itu selesai, tidak serta merta mesti dilaporkan sang adipati kepada asisten residen. Sering malah asisten residen mesti mengirim surat lagi untuk menanyakan hasil dari sengketa tersebut.

Hubungan orang Cina-asisten residen dan Paku Alam VI-pribumi menggariskan hubungan yang satu bersifat equal, dan lainnya hirarkis, serta pada asisten residen-Paku Alaman VI tampak relasi konflik. 

Relasi-relasi itu telah memunculkan satu sistem hubungan yang menautkan status-status kolonial dan tradisional.  Ada tiga bentuk relasi dari sistem tersebut. Pertama, relasi yang tampak. Dalam sistem kolonial di Yogyakarta status-status elite tradisional tidak saja dipertahankan, sekaligus menjadi “perantara” dengan rakyat bawah. Hal ini tergambar dari adanya relasi yang tampak jelas dari keberadaan pribumi sebagai kawulo Pakualaman, dan Adipati Paku Alam VI sendiri sebagai bagian dari sistem kolonial, sementara orang Cina merupakan kelompok masyarakat yang berada diantara dua kutup elite (kolonial dan feodal) yang memiliki hubungan “erat” dengan pihak pribumi, tetapi dengan bergantung dengan pejabat Belanda, tidak feodal. Kondisi ini menempatkan Cina sejajar dengan elite pribumi seperti Paku Alam VI, meski yang terakhir adalah seorang raja.

Kedua, karena posisi yang timpang dan aneh ini, lazim kemudian muncul relasi-relasi konflik terbuka dan terselubung diantara unsur-unsur sistem relasi tersebut. Konflik terbuka tampak dari hubungan Cina-Pribumi. Salah satu penyebab konflik adalah masalah perdagangan dan pinjam meminjam diantara keduanya. Surat-surat resmi dari asisten residen kepada Paku Alam VI menunjukan keberpihakan pejabat Belanda ini terhadap masalah “sepele” yang dilaporkan orang Cina. Bagi orang Cina Paku Alam VI sendiri sebagai raja tidak dianggap dapat mewakili kepentingan mereka. Sementara lewat surat-surat asisten residen yang terus menerus menanyakan hasil suratnya atas laporan orang Cina itu menunjukan keengganan relasi hirarkis dari Paku Alam VI. 

Keberadaan surat itu jelas suatu “paksaan” untuk mengakui kedudukan asisten residen yang lebih tinggi dari Paku Alam VI sendiri. Dengan tidak mengirim surat balasan hasil dari mediasi konflik terbuka Cina-Pribumi, Paku Alam VI ingin menjelaskan kedudukannya yang tidak di bawah asisten residen sehingga tidak perlu melapor bagaimana hasil akhir sengketa. Perilaku ini menunjukan konflik terselubung diantara dua elite kolonial itu. Ketiga, meski “paksaan” untuk membalas suratnya terus dilakukan, hubungan asisten residen dan Paku Alam VI tidaklah dapat dikatakan hirarkis, kecuali dengan orang Cina. Bagi orang Cina, asisten residen adalah patron dimana mereka mesti bergantung secara politik. Relasi-relasi dari hubungan yang diurai di atas dapat ditemukan dalam beberapa surat-menyurat antara asisten residen dengan Paku Alam VI dari tahun 1901-1902.

KUANTITASI DAN MAKNA DALAM SEJARAH: Sebuah Catatan Atas Pembacaan

[edisi revisi John Tosh, THE PERSUIT OF HISTORY: Aims, methods and new direction in the study of modern history (Essex: Pearson Education, 2002)]

Credo utama dari buku ini, sebagaimana ditulis Tosh adalah sejarawan perlu menghitung. Menghitung di sini tentu bukan dalam artian bagaimana angka-angka dipakai dalam kajian matematika atau fisika. Tapi seiring makin intensnya pertemuan teori sosial dan ekonomi menjelaskan masa lalu atau sejarah, maka para sejarawan mulai mempertimbangkan ukuran-ukuran kuantitas dalam mendukung metodologi penelitian mereka. Tosh menyebutkan dengan sejarah kuantatif (quantitative history).

Dijelaskan Tosh ada dua pertanyaan penting menjelaskan keberadaan sejarah kuantitatif. Pertama, apa scope atau batasan sejarah kuantitatif itu. Kedua, sejauh mana sejarah kuantitatif itu telah  ditransformasikan dalam metodologi penelitian ilmu sejarah.

Beberapa dekade lalu, ada hubungan yang a-harmonis atau tidak selaras antara sejarawan dengan ilmuan sosial lain seperti antropolog, sosiolog, atau ekonom. Menurut istilah Peter Burke (2003), hubungan yang use and abuse, saling menggunakan dan menyalahgunakan. Sejarawan cenderung mencurigai ilmu-ilmu sosial sebagai a-historis, dan menolak adanya teorisasi dalam penelitian sejarah. Namun semakin tingginya kesadaran akan pentingnya sejarah pertumbuhan ekonomi, sejarah sosial, dan seterusnya di kalangan sejarawan sendiri, serta kebutuhan riset sejarah sebagai pembanding bagi kajian ilmu sosial-humaniora, memperdalam saling apresiasi diantara keduanya; sejarawan dan ilmuan sosial. Dalam titik temu inilah, menurut Tosh, sejarah kuantitatif akhirnya diterima dalam metodologi ilmu sejarah tahun-tahun belakangan.

Menurut Tosh ada empat bentuk transformasi sejarah kuantitatif dalam metodologi penelitian ilmu sejarah. Keempatnya adalah sejarah demografi (kependudukan), sejarah struktur sosial, sejarah politik, dan sejarah ekonomi.

Bila kita memperdalamkan karya ini dengan tulisan Peter Burke (2003), Sejarah dan Teori Ilmu Sosial, metode penelitian kuantitatif memiliki sejarah panjang, yang dimulai dari sejarah Romawi Kuno ketika sensus-sensus berkala kerajaan diadakan. Sementara di Perancis abad ke-18 data-data kualitatif dikeluarkan tentang harga, produksi, dan sebagainya. Sementara di Inggris dilakukan dalam hal penelitian akan populasi. Di era media massa masal kini, metode kualitatif dikembangkan lewat survey, namun di kalangan sejarawan sendiri penggunaan data survey masih debatable, atau meragui. Ketidaksetujuan itu terkait dapatkah analisis statistik dipakai mengkaji perilaku manusia, bahkan sikap satu masyarakat?

Meski demikian, terobosan-terobosan seputar angket ini terus dilakukan. Misalnya apa yang ditulis Gilberto Freyre. Ia menulis sejarah Brasil di abad ke-19 dengan mengirim angket kepada orang-orang yang masih hidup pada periode itu. Namun dalam kajian sejarah kontemporer, wawancara kadang menjadi bagian dari metode statistik. Metode kuantifikasi ini juga dapat digunakan untuk kajian sejarah media dengan memakai praktik analisis isi.

Bagi ahli kependudukan (sejarah demografi), mereka meneliti variasi tingkat kelahiran, perkawinan, dan kematian di berbagai masyarakat. Tosh memberikan contoh kajian dari Wrigley dan R.S. Schofield yang mengakulasi rata-rata nasional kelahiran, perkawinan, dan kematian di Inggris dari 1801 sampai pertengahan abad ke-19. Dari penelitian ini mereka dapat melihat naik turun atau variasi terbatas dari pertumbuhan rata-rata sebelum dan sesudah batasan temporal penelitian mereka.

Lapangan kedua menurut John Tosh dari penggunaan metode kualitatif adalah sejarah struktur sosial. Sesunggunya ada kedekatan antara kajian sejarah struktur sosial ini dengan sejarah demografi. Keduanya menggunakan data sensus menganalisis satu masyarakat. Tosh menjelaskan, sensus masyarakat secara tidak langsung adalah bagian wacana yang terbuka untuk interpretasi kuantifikasi. Contohnya melihat pekerjaan, status, afiliasi keagamaan, migrasi desa ke kota dan seterusnya. Lebih kongkret Tosh memberi gambaran bagaimana sejarah struktur sosial dalam apa yang disebut, “new urban history”, sejarah perkotaan baru di AS. Kajian ini didasarkan atas premis bahwa perubahan struktur sosial dari sebuah kota dapat direkonstruksi dengan menganalisis catatan-catatan jadwal dari sensus AS dalam hubungannya dengan data-data angka; misalnya catatan pajak, direktori kota, catatan kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Lapangan ketiga dari metode kuantitatif adalah pada kajian sejarah politik. Contoh kajian sejarah memakai metode kuantitatif adalah penelitian tentang perilaku pemilih dalam pemilu (psephology). Di sini pendekatan kuantitatif diarahkan pada, salah satunya menurut Tosh, data angka pemilih. Dari catatan-catatan pemilih analisis dapat dihubungkan dengan pendapatan pemilih, status atau agama, dan seterusnya.

Terakhir, menurut John Tosh metode kualitatif jelas sekali dapat digunakan pada penelitian sejarah ekonomi. Pada apa yang dinamakan “sejarah ekonomi baru”, kajian sejarah jenis ini lebih menekankan pada pengukuran kinerja ekonomi secara keseluruhan, yakni menghitung PNB (Produk Nasional Bruto) masa lalu, khususnya di negara-negara Barat sejak tahun 1800, ketika data statistik relatih melimpah dan makin dapat diandalkan.

Wednesday, September 26, 2012

Bila Perempuan "Azan" di Mesjid FIB Unand: Emansipasi Perempuan di Rumah Tuhan?

Lantunan firman-firman Tuhan sejak pagi mengiring langkah civitas akademika Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Sudah dua hari ayat-ayat Tuhan itu dibacakan dengan merdu peserta "lomba" tilawatil Quran. Memang enak bila mendengar perempaun yang melantunkan itu. Namun dari kegiatan ini terselip juga pertanyaan.

Sudah begitu rendahkah keberQuranan orang Minang yang katanya bersendi Al Quran ini dalam hidup? Sampai-sampai membaca Quran pun mesti dilombakan? Duh, Gusti...ini tanda apa adanya? Kenapa baca sabda-sabdaMu nan agung itu mesti dilombakan?

Bukankah kewajiban kita sebagai orang Muslim membacanya? Bukankah kepasrahan dan keikhlasan merupakan sendiri dari keberagamaan kita semestinya? Kalau membaca sabda-sabdaNya itu mesti dilombakan, jangan-jangan masuk surga pun akan dilombakan pula? Bukankah Tuhan sudah menyeru bahwa surga bahkan nerakanya itu luasnya lebih luas dari langin dan bumi?

Duhai suara perempuan itu dengan lantang mengaji? Jadi teringat dengan Boedioanduk, eh Boediono yang minta pemakaian speaker mesjid dibatasi suaranya? Entahlah bagaimana para guru-guru mengaji mengajarkan agama hari ini di berbagai tempat. Seingatku dulu, suara perempuan itu salah satu aurat dan haram diperdengarkan untuk "konsumsi" publik.

Tapi yang terdengar sekarang? Sejak pagi tadi suara perempuan saja yang terdengar di mesjid itu? Di rumah Tuhan itu. Perempuan itu "azan" di mesjid FIB Unand? Waduh gejalah apa ini? Apakah bagian dari emansipasi perempuan di rumah Tuhan?

Tuesday, September 25, 2012

Internet for free

Malang nian nasib orang Indonesia yang berada di sisi antara kota dan desa. Mereka yang berada di garis batas. Dua kakinya terbelenggu dalam dua ranah yang saling tarik menarik. Satu tuntutan kemajuan tekonologi, satu lagi sunyi akan sentuhan teknologi informasi; salah satunya internet.

Hasrat menggapai kemajuan dengan kemudahan akses tak dapat disalurkan. Jaringan masih lemot. Tool yang digunakan pun terbatas dan mahal. Entah kapan akan ada internet for free di negeri ini. Bila sudah, tentu akan lempang dan mudahnya masyarakat kita berinteraksi dengan dunia luar sana.

When it will be happened? Dear government, can you see that!!

Keangkuhan Warga Kota dan Keluguan Rumi

Kota yang tidak ramah, sudah hampir satu tahun meninggalkannya. Orang-orang masih berjalan dengan keangkuhan masa lalunya yang gersang. Kemacetan, sumpah serapah di jalan, di pasar, tak mau membalas salam dan senyum dari seorang anak kecil sekalipun (kasihan Rumi yang menawarkan senyum tapi berbalas kecuekan, masih kecil tapi sudah (shock culture), kemarahan yang tak tahu kemana hendak dituangkan.

Mobil-mobil yang garang, sepeda motor yang menerjang tanpa halang. Kota ini memang kota kolonial yang malang, kesempatan dan tawaran hilang demi harga diri jiwa-jiwa petualang dan budak yang ingin berkuasa. Tak ada yang beda dari kota ini sejak kutinggalkan. Masih bermental kolonial, tapi dari kelompok kolonial yang tertindas dan kini berkuasa. Tak ada yang lebih menakutkan dari penguasaan orang tertindas yang bermental kolonial. Kemerdekaan adalah kebebasan dengan keangkuhan yang seenak puser e dewe...ckckckck..Benar-benar tak ada yang berubah meski bencana terus menimpa, ini negeri dengan kezaliman yang jadi hal biasa. Sama dengan bukit-bukit itu, tak ada yang berubah. Tapi satu hal pasti bukit-bukit itu tetap memberi perubahan rasa dan menyimpan banyak kenangan masa kecil yang selalu hadir ketika menatapnya...Ingin bawa Rumi satu hari ke puncak-puncak bukit Padang, agar dia tahu di puncak itu masih banyak cerita selain keangkuhan kota dan sebagian penduduknya...

Cerita untuk RUMI

Setelah melihat foto-foto lama, mendengar/ menghadiri resepsi pernikahan kawan di kuliah dulu, dan apa yang kudapat hari ini, semuanya membuatku jadi bertanya-tanya. Rasa apa yang menyundul di ulu hatikku kini. Apakah romantisme masa lalu yang menggeliat, ataukah kepuasan menatap hari ini, atau gejolak gairah menatap masa depan? Entahlah, tapi satu hal pasti yang membuatku lebih optimis merenungi semua ini adalah rengekan anakkku Rumi di sebelahku. "Cepatlah dewasa Nak, ayahanda ingin banyak berkisah padamu tentang hari-hari depan yang kan kau lalui dengan ribuan doa dari kami..

Puisi untuk RUMI

Waktu itu kadang "musuh" bagiku, dan mungkin sebagian dari kita. Tak terasa, dulu anakku Rumi yang baru bisa mutar kepala pas tidur ke Yogya ini yang ketika melihat itu senangnya bukan main, kini sudah mulai lasak. Waktu telah membumbung dia begitu cepat, sementara kami masih terpesona setiap perubahan kecerdasan yang ia miliki tanpa menyadari ia telah "diculik" dari kami...Ah, betapa ingin ku reg
ut kaki waktu yang berjalan cepat itu agar anak kami rumi masih tetap menjadi anak kami yang "bayi" itu. Tapi kalau pun bisa, apa kami tidak akan menjadi orang tua yang Malin Kundang? Yang durhaka pada setiap perubahan yang menjadi hak hidupnya? Rumi sayang...doa tulus ayahanda dan ibunda bagi kebahagianmu di dunia dan akhirat kelak senantiasa kami munajatkan ke pemilik waktu itu...Amin (Tidurlah yang nyenyak Nak...)

Let's begin!


Benarkah sejarah merupakan tabel-tabel kebodohan manusia masa lalu sebagaimana disinisi oleh Voltaire? Memang, yang paling bisa kita pelajari dari sejarah adalah manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Keterpurukan ekonomi, konflik disertai kekerasan, vandalisme, segregasi etnik, ketidakadilan sosial, dan sebagainya seakan menjadi tapak-tapak waktu dalam tubuh-tubuh manusia dalam rentang waktu ratusan tahun. Sikap-sikap penghancuran peradaban itu muncul seiring pergantian antargenerasi.

Atau dalam bahasa Perancis le’ histoire se repete, sejarah yang berulang. Mungkin benar juga, keterulangan sejarah terjadi memang tidak pada aktor sejarahnya, tapi pada perilaku manusia setiap zaman, dari dulu sampai sekarang. Jika demikian, salahkah Voltaire?