Saturday, September 29, 2012

Hubungan Cina-Pribumi di Wilayah Pakualaman, Yogyakarta 1901-1902

Orang Cina di Pakualaman masa Paku Alam VI memiliki hubungan yang unik dengan penduduk pribumi. Keduanya sering terlibat transaksi yang saling menguntungkan, namun tak jarang berujung pada sengketa. Beragam sengketa dibawa ke Asisten Residen Yogyakarta yang kemudian diselesaikan di Pakualaman, di bawah kearifan Adipati Ario Paku Alam VI. Ada dua hal menarik dari hubungan Cina-Pribumi ini; sengketa di antara mereka, dan peran yang dilakonkan Asisten Residen vis a vis dengan Paku Alam VI.

Sengketa antara orang Cina dan pribumi di Pakualaman menimbulkan dua sistem hubungan birokrasi. Orang Cina yang secara strata diakui lebih tinggi dari pribumi dalam sistem kolonial mendapat posisi yang lebih kuat. Mereka dengan mudah membuat surat pengaduan akan perselisihan mereka dengan orang pribumi kepada asisten residen Yogyakarta. Asisten residen pulalah yang kemudian “menekan” Adipati Aria Paku Alam VI mempertemukan dua orang bersengketa itu dan menyelesaikan persoalannya. Setelah persoalan itu selesai, tidak serta merta mesti dilaporkan sang adipati kepada asisten residen. Sering malah asisten residen mesti mengirim surat lagi untuk menanyakan hasil dari sengketa tersebut.

Hubungan orang Cina-asisten residen dan Paku Alam VI-pribumi menggariskan hubungan yang satu bersifat equal, dan lainnya hirarkis, serta pada asisten residen-Paku Alaman VI tampak relasi konflik. 

Relasi-relasi itu telah memunculkan satu sistem hubungan yang menautkan status-status kolonial dan tradisional.  Ada tiga bentuk relasi dari sistem tersebut. Pertama, relasi yang tampak. Dalam sistem kolonial di Yogyakarta status-status elite tradisional tidak saja dipertahankan, sekaligus menjadi “perantara” dengan rakyat bawah. Hal ini tergambar dari adanya relasi yang tampak jelas dari keberadaan pribumi sebagai kawulo Pakualaman, dan Adipati Paku Alam VI sendiri sebagai bagian dari sistem kolonial, sementara orang Cina merupakan kelompok masyarakat yang berada diantara dua kutup elite (kolonial dan feodal) yang memiliki hubungan “erat” dengan pihak pribumi, tetapi dengan bergantung dengan pejabat Belanda, tidak feodal. Kondisi ini menempatkan Cina sejajar dengan elite pribumi seperti Paku Alam VI, meski yang terakhir adalah seorang raja.

Kedua, karena posisi yang timpang dan aneh ini, lazim kemudian muncul relasi-relasi konflik terbuka dan terselubung diantara unsur-unsur sistem relasi tersebut. Konflik terbuka tampak dari hubungan Cina-Pribumi. Salah satu penyebab konflik adalah masalah perdagangan dan pinjam meminjam diantara keduanya. Surat-surat resmi dari asisten residen kepada Paku Alam VI menunjukan keberpihakan pejabat Belanda ini terhadap masalah “sepele” yang dilaporkan orang Cina. Bagi orang Cina Paku Alam VI sendiri sebagai raja tidak dianggap dapat mewakili kepentingan mereka. Sementara lewat surat-surat asisten residen yang terus menerus menanyakan hasil suratnya atas laporan orang Cina itu menunjukan keengganan relasi hirarkis dari Paku Alam VI. 

Keberadaan surat itu jelas suatu “paksaan” untuk mengakui kedudukan asisten residen yang lebih tinggi dari Paku Alam VI sendiri. Dengan tidak mengirim surat balasan hasil dari mediasi konflik terbuka Cina-Pribumi, Paku Alam VI ingin menjelaskan kedudukannya yang tidak di bawah asisten residen sehingga tidak perlu melapor bagaimana hasil akhir sengketa. Perilaku ini menunjukan konflik terselubung diantara dua elite kolonial itu. Ketiga, meski “paksaan” untuk membalas suratnya terus dilakukan, hubungan asisten residen dan Paku Alam VI tidaklah dapat dikatakan hirarkis, kecuali dengan orang Cina. Bagi orang Cina, asisten residen adalah patron dimana mereka mesti bergantung secara politik. Relasi-relasi dari hubungan yang diurai di atas dapat ditemukan dalam beberapa surat-menyurat antara asisten residen dengan Paku Alam VI dari tahun 1901-1902.

0 comments:

Post a Comment