Saturday, September 29, 2012

KUANTITASI DAN MAKNA DALAM SEJARAH: Sebuah Catatan Atas Pembacaan

[edisi revisi John Tosh, THE PERSUIT OF HISTORY: Aims, methods and new direction in the study of modern history (Essex: Pearson Education, 2002)]

Credo utama dari buku ini, sebagaimana ditulis Tosh adalah sejarawan perlu menghitung. Menghitung di sini tentu bukan dalam artian bagaimana angka-angka dipakai dalam kajian matematika atau fisika. Tapi seiring makin intensnya pertemuan teori sosial dan ekonomi menjelaskan masa lalu atau sejarah, maka para sejarawan mulai mempertimbangkan ukuran-ukuran kuantitas dalam mendukung metodologi penelitian mereka. Tosh menyebutkan dengan sejarah kuantatif (quantitative history).

Dijelaskan Tosh ada dua pertanyaan penting menjelaskan keberadaan sejarah kuantitatif. Pertama, apa scope atau batasan sejarah kuantitatif itu. Kedua, sejauh mana sejarah kuantitatif itu telah  ditransformasikan dalam metodologi penelitian ilmu sejarah.

Beberapa dekade lalu, ada hubungan yang a-harmonis atau tidak selaras antara sejarawan dengan ilmuan sosial lain seperti antropolog, sosiolog, atau ekonom. Menurut istilah Peter Burke (2003), hubungan yang use and abuse, saling menggunakan dan menyalahgunakan. Sejarawan cenderung mencurigai ilmu-ilmu sosial sebagai a-historis, dan menolak adanya teorisasi dalam penelitian sejarah. Namun semakin tingginya kesadaran akan pentingnya sejarah pertumbuhan ekonomi, sejarah sosial, dan seterusnya di kalangan sejarawan sendiri, serta kebutuhan riset sejarah sebagai pembanding bagi kajian ilmu sosial-humaniora, memperdalam saling apresiasi diantara keduanya; sejarawan dan ilmuan sosial. Dalam titik temu inilah, menurut Tosh, sejarah kuantitatif akhirnya diterima dalam metodologi ilmu sejarah tahun-tahun belakangan.

Menurut Tosh ada empat bentuk transformasi sejarah kuantitatif dalam metodologi penelitian ilmu sejarah. Keempatnya adalah sejarah demografi (kependudukan), sejarah struktur sosial, sejarah politik, dan sejarah ekonomi.

Bila kita memperdalamkan karya ini dengan tulisan Peter Burke (2003), Sejarah dan Teori Ilmu Sosial, metode penelitian kuantitatif memiliki sejarah panjang, yang dimulai dari sejarah Romawi Kuno ketika sensus-sensus berkala kerajaan diadakan. Sementara di Perancis abad ke-18 data-data kualitatif dikeluarkan tentang harga, produksi, dan sebagainya. Sementara di Inggris dilakukan dalam hal penelitian akan populasi. Di era media massa masal kini, metode kualitatif dikembangkan lewat survey, namun di kalangan sejarawan sendiri penggunaan data survey masih debatable, atau meragui. Ketidaksetujuan itu terkait dapatkah analisis statistik dipakai mengkaji perilaku manusia, bahkan sikap satu masyarakat?

Meski demikian, terobosan-terobosan seputar angket ini terus dilakukan. Misalnya apa yang ditulis Gilberto Freyre. Ia menulis sejarah Brasil di abad ke-19 dengan mengirim angket kepada orang-orang yang masih hidup pada periode itu. Namun dalam kajian sejarah kontemporer, wawancara kadang menjadi bagian dari metode statistik. Metode kuantifikasi ini juga dapat digunakan untuk kajian sejarah media dengan memakai praktik analisis isi.

Bagi ahli kependudukan (sejarah demografi), mereka meneliti variasi tingkat kelahiran, perkawinan, dan kematian di berbagai masyarakat. Tosh memberikan contoh kajian dari Wrigley dan R.S. Schofield yang mengakulasi rata-rata nasional kelahiran, perkawinan, dan kematian di Inggris dari 1801 sampai pertengahan abad ke-19. Dari penelitian ini mereka dapat melihat naik turun atau variasi terbatas dari pertumbuhan rata-rata sebelum dan sesudah batasan temporal penelitian mereka.

Lapangan kedua menurut John Tosh dari penggunaan metode kualitatif adalah sejarah struktur sosial. Sesunggunya ada kedekatan antara kajian sejarah struktur sosial ini dengan sejarah demografi. Keduanya menggunakan data sensus menganalisis satu masyarakat. Tosh menjelaskan, sensus masyarakat secara tidak langsung adalah bagian wacana yang terbuka untuk interpretasi kuantifikasi. Contohnya melihat pekerjaan, status, afiliasi keagamaan, migrasi desa ke kota dan seterusnya. Lebih kongkret Tosh memberi gambaran bagaimana sejarah struktur sosial dalam apa yang disebut, “new urban history”, sejarah perkotaan baru di AS. Kajian ini didasarkan atas premis bahwa perubahan struktur sosial dari sebuah kota dapat direkonstruksi dengan menganalisis catatan-catatan jadwal dari sensus AS dalam hubungannya dengan data-data angka; misalnya catatan pajak, direktori kota, catatan kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Lapangan ketiga dari metode kuantitatif adalah pada kajian sejarah politik. Contoh kajian sejarah memakai metode kuantitatif adalah penelitian tentang perilaku pemilih dalam pemilu (psephology). Di sini pendekatan kuantitatif diarahkan pada, salah satunya menurut Tosh, data angka pemilih. Dari catatan-catatan pemilih analisis dapat dihubungkan dengan pendapatan pemilih, status atau agama, dan seterusnya.

Terakhir, menurut John Tosh metode kualitatif jelas sekali dapat digunakan pada penelitian sejarah ekonomi. Pada apa yang dinamakan “sejarah ekonomi baru”, kajian sejarah jenis ini lebih menekankan pada pengukuran kinerja ekonomi secara keseluruhan, yakni menghitung PNB (Produk Nasional Bruto) masa lalu, khususnya di negara-negara Barat sejak tahun 1800, ketika data statistik relatih melimpah dan makin dapat diandalkan.

0 comments:

Post a Comment