Tuesday, October 23, 2012

Narasi Kepahlawanan: Yang Mitologis, Yang Historis I


“Petualang-petualang sibuk menyusun sejarah hidupnya, menyulap dongeng menjadi kenyataan, seolah-olah merekalah yang paling berjasa dan karena itu minta dihargai.” (Soewardi Idris, 2008)

Heather Sutherland, menulis “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008). Dijelaskan Sutherland, seiring menguatnya negara birokrasi di Eropa abad ke-19, muncul kecenderungan baru penulisan sejarah yang disebutnya, Sejarah Profesional Modern (SPM).

SPM ini ditandai oleh narasi besar yang dominan, yang berpuncak pada kejayaan modernita negara-bangsa (hlm. 34). Negara pasca kolonialisme atau kolonisme (memakai term Bambang Purwanto) menjadi wacana utama. Terdapat hubungan timbal balik antara negara dan sejarah; bagaimana negara memainkan peran dalam perdebatan sejarah, dan peranan sejarah dalam negara pasca kolonial. Dalam hubungan inilah, selain kebutuhan narasi kolektif akan identitas bersama, narasi kepahlawanan menjadi sangat penting. Bagi negara, narasi sejarah akan kepahlawanan berbanding lurus dengan kebutuhan pewarisan semangat kebangsaan.

Sebuah kecenderungan negara-negara bangsa yang muncul pasca PD II membutuhkan pahlawan. Pahlawan dibutuhkan selain sebagai bagian dari simbol kebangsaan, juga sebagai jejak kesejarahan bangsa itu. Tak heran di negara baru seperti Indonesia, Vietnam, Malaysia, negara-negara di Amerika Selatan, bahkan di Timor-Timur, latar belakang pahlawan mereka banyak berasal dari militer atau tokoh perjuangan atau pimpinan pergerakan. Diantara mereka misalnya, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Sudirman, Ho Chi Min (Vietnam), Jose Rizal (Filipina), Che Guevara (Amerika Latin), atau Nelson Mandela di Afrika Selatan. Lewat sejarah hidup dan perjuangan mereka sebagian besar narasi historiografi satu bangsa disandarkan, sekaligus menjadi simbol persatuan antar-anak bangsa yang baru tumbuh tersebut.

Selama enam dekade terakhir narasi-narasi sejarah bangsa tidak bisa dilepaskan dari sejarah hidup dan aktifitas para pahlawan-pahlawan tersebut. Pembabakan sejarah Indonesia, sebagai contoh, bermula dari gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908 yang merupakan organisasi kaum intelektual di Jawa. Berlanjut muncul SI (Syarekat Islam), Schakel Society (kaum terdidik) di tahun 1920an, munculnya PI (Persatuan Indonesia) di Belanda, PNI Sukarno, dan seterusnya, yang merupakan langkah-langkah penting penyusunan sejarah nasional Indonesia. Dan tidak heran juga pemberian gelar pahlawan salah satu syaratnya mesti pernah menjadi bagian dari cerita-cerita (panjang atau pendek) dari keikutsertaan mereka dalam pembabakan sejarah tersebut. Selain itu terdapat juga tambahan prekondisi sejarah Indonesia sebagai negara baru lewat simbol perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan secara lokal seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Antasari, Patimura, dan sebagainya.

Pahlawan-pahlawan itu bukan tidak ada masalah dalam masyarakat. Pahlawan kadang bisa menjadi sangat politis, sekaligus nir-rakyat. Pahlawan menjadi sangat politis ketika mendapat pro-kontra dalam masyarakat seperti yang dialami oleh Suharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dan juga nir-rakyat karena selama ini anugerah gelar kepahlawanan oleh negara pada satu individu tidak ada yang dari rakyat jelata.

Penulisan sejarah (historiografi) Indonesia hari ini mengalami krisis dan degradasi tematik. Kelahiran corak penulisan sejarah yang telah dimulai di akhir tahun 1950 hingga kini gagal merekam realitas kesejarahan masyarakat Indonesia secara utuh. Tradisi penulisan sejarah yang Indonesiasentris dalam historiografi selama 50 tahun belakangan—mulai 1957—ternyata tak jauh berbeda secara metodologis dibandingkan dengan historiografi kolonial—penguasa sebagai titik sentral. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah tradisi ini telah meminggirkan peran rakyat dalam peristiwa sejarah yang terjadi.

Sesungguhnya dalam peristiwa sejarah, pemimpin adalah “kata benda”, sementara rakyatlah “kata kerja”. Namun penulisan sejarah Indonesia yang dirumuskan dalam konggres sejarah nasional I, yang terjadi justru terbalik. Rakyatlah “kata benda”, sementara pemimpin diletakan sebagai sosok paling berperan di front-front perjuangan hingga bangsa ini merdeka. 

Penonjolan jasa para pemimpin itu jamak dalam historiografi kita selama setengah abad berjalan. Penerbitan berbagai biografi atau otobiografi merupakan salah satu contoh utama, selain buku-buku sejarah umum yang dipakai di sekolah-sekolah, mulai tingkat dasar sampai menengah. Selain itu, kisaran narasi pada keberadaan Belanda sebagai penjajah mengecilkan dinamika alami yang terjadi di masyarakat Indonesia sendiri.

Bambang Purwanto dalam buku Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (2006), menyatakan sejak saat itu narasi sejarah kita cenderung menjauh dari sejarah objektif dan gagal karena ekses negatif prinsip dekolonisasi historiografis yang diterapkan para sejarawan. Penekanan sifat ultra nasionalis dan retorika sebagaimana terdapat dalam karya-karya sejarawan amatir Indonesia pasca kolonial, seperti “Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih”, “Sentot Alibasya”, “Pahlawan Diponegoro” dan sebagainya, jelas pengingkaran terhadap peran rakyat dalam peristiwa-peristiwa kepahlawanan tersebut. Tak urung, menurut Bambang karya-karya sejarah “serius” pun, seperti tesis S2 dan disertasi S3 tak bisa lepas dari paradigma sejarah di atas. Misalnya karya klasik sejarawan senior Sartono Kartodirdjo “Pemberontakan Petani Banten” dan perbanditan di laut oleh A.B Lapian.

Selama setengah abad ini historiografi kita sebagai bangsa tak mampu menghadirkan eksplanasi objektif terhadap peran rakyat secara optimal. Situasi ini merupakan penyebab kegagalan narasi sejarah kita sebagai bangsa di tangan sejarawan. Idiom rakyat tanpa sejarah, sejarah tanpa rakyat, perempuan tanpa sejarah atau sejarah tanpa perempuan merupakan realitas penulisan sejarah bangsa selama ini.

Kini seiring maraknya euforia otonomi daerah muncul kecendrungan tiap daerah menulis sejarahnya berdasarkan perspektif daerah mereka sendiri; daerah sentris. Namun, kajian dan penulisan sejarah yang dilakukan itu kembali meminggirkan peran rakyat merajut identitas kelokalan mereka karena perspektif yang dimunculkan lebih bersifat politis atau proyek di tangan para sejarawan. Dalam situasi itu, sulit bagi sejarawan memberi porsi besar bagi narasi sejarah rakyat, karena ia bersifat “pesanan”.

Memang pada akhirnya, tak bisa dipungkiri juga, para sejarawan yang terlibat, dan karya sejarah yang lahir itu, tak bisa lagi menghindari cengkraman kekuasaan sebagai objek legitimasi. Dalam artian lain, kita sebagai orang awam dan sebagai bangsa ternyata belum memiliki sebuah narasi sejarah yang ditulis demi kepentingan rakyat banyak, kecuali untuk elite atau penguasa. Sehingga tak mengherankan jika situasi ini melahirkan isu gagalnya historiografi Indonesia, dan kini menjadi polemik di antara para sejarawan di tanah air.

Gagalnya historiografi Indonesia itu jelas berdampak besar bagi identitas kita sebagai bangsa. Buah renungan dan pemikiran, patriotisme dan sumbangan harta-nyawa pejuang ternyata tak berarti dibanding keberadaan satu dua tokoh bangsa atau faktor Belanda sebagai penjajah. Menurut Bambang dalam bukunya, semestinya arah dan perspektif baru penulisan sejarah di Indonesia hari ini tak mesti bermakna kepahlawanan saja. Ada keharusan membuka wawasan sejarawan terhadap kajian sejarah yang “biasa” dari kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan, sehingga bersifat lebih manusiawi, the every day life history. Sehingga sudah saatnya narasi sejarah bangsa ini tidak lagi sebagai tameng pembenaran para pahlawan atau tokoh besar. Sebab dalam konteks inilah dijumpai pahlawan yang mitologis (yang dimitoskan karena ada unsur politik). [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan. Gratis dan sangat membantu update blog ini/Red]

0 comments:

Post a Comment