This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, September 30, 2012

From Children of Colonial to Founding Fathers of Republic: The Shaping of Colonial Society and Habitus in West Sumatra, Indonesia 1905-1942

For many years, study on colonial runs on two different paths in Indonesia. On the one hand it contains “the truth” of colonialism as a way to civilized Indonesian peoples in Netherlands East Indies. On the other hand, colonialism is categorized as ghost and the destruction way to restore the once glorious of the past of Indonesian society. In this side, decolonialization—different meaning to decolonization—has an echo sound for a decade. Interesting question on it following; what was the colonial state? It was true that the colonial state project was mother land in Europe policy? Or it was a conspiratorial between colonial government and local elites? Considering both of these question, I assume that in specific context of the colonial state in local level. It was a house of colonial; a house where both colonial apparatus and local people can live together and supporting each other. So it happened in West Sumatra during 1905-1942. First, West Sumatra and its populace, Minangkabaunese, have played important role during colonial time and at the beginning of republic of Indonesia. Many of Indonesian prominent leaders were born in this region and grew up by colonial System. They are such as Tan Malaka, Hatta, Agus Salim, Sjahrir, and more. Second, during 1905-1942, Minangkabaunese and West Sumatra area became part of the colonial state. They felt comfortable with the colonial situation. The period was a convenient era for many Minangkabaunese, particularly penghulu. Their descendants might occupie their positions as ambtenars or colonial officers. Kwekschool or Sekolah Radja, Teluk Bayur harbor, and train connecting countryside to cities such as Bukittinggi or Padang have become a supporting infrastructure of the colonial state in West Sumatra. For thirty seven years, the colonial state had transformed into a “house” for Minangkabaunese. This paper will discuss how colonial in West Sumatra, during 1905-1942 has provided a vast opportunity to Minangkabaunese? How was the formation of the house of colonial in West Sumatra? What were the socio-cultural structures developed in that formation? And what were ideas that produced within habitus—if Bourdieu’s term can be used—arena through symbolic and cultural capital?

Minangkabaunese’s Merantau: Imagined Identity through Conflict Between Darek and Rantau at West Sumatra Indonesia 1999-2009

Padang’s restaurant is one of the important pointer of the Minangkabaunese’s merantau to another area and abroad. The merantau itself can not be divided from their adat—is usually defined as that local custom which regulates the interaction of the members of a society—for many long times ago. Merantau is interdependent relationship or conflict of darek and rantau. The conflict itself is seen dialectically, as essential to achieving the integration of the society. The darek benefited from wealth and innovation brought in from rantau. The darek furnished the rantau with an identity as part of Minangkabau world’s ideology. At 1999 after fallen of Suharto, the ideology was constricted to construct identity called adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABSSBK) [custom based on canon, canon based on the Book of Allah] within West Sumatra society. Merantau on this position is seen not merely area migration, but is the journey of response of social change at the time. Foundings of the research point out that interconnection of traditional leader, religious leader, and government official have boosted collective contestation on that identity. The contestation takes place due to several causes. First, divergent and increasing awareness of traditional leaders towards authority and elegance of Minangkabau tradition in response to the government’s political interest. Second, mainstreaming Islamic values in the space of ABSSBK. Third, wild state intervention in spheres of socio-cultural and religious Minangkabaunese. As a consequence, people regarded as modern Minangkabaunese for ulama (Muslim scholar) and local government officials are those who are Muslims, highly swayed by Minangkabau culture and stay in West Sumatra. In truth, state and Islam do not take whether people adopt matrilinealism or not into account. Different from the previous two parties, traditional leaders actively explore every avenue to preserve noble tradition and integrate it into local-based curriculum, like Minangkabau, Nature and Culture (BAM).

Saturday, September 29, 2012

Hubungan Cina-Pribumi di Wilayah Pakualaman, Yogyakarta 1901-1902

Orang Cina di Pakualaman masa Paku Alam VI memiliki hubungan yang unik dengan penduduk pribumi. Keduanya sering terlibat transaksi yang saling menguntungkan, namun tak jarang berujung pada sengketa. Beragam sengketa dibawa ke Asisten Residen Yogyakarta yang kemudian diselesaikan di Pakualaman, di bawah kearifan Adipati Ario Paku Alam VI. Ada dua hal menarik dari hubungan Cina-Pribumi ini; sengketa di antara mereka, dan peran yang dilakonkan Asisten Residen vis a vis dengan Paku Alam VI.

Sengketa antara orang Cina dan pribumi di Pakualaman menimbulkan dua sistem hubungan birokrasi. Orang Cina yang secara strata diakui lebih tinggi dari pribumi dalam sistem kolonial mendapat posisi yang lebih kuat. Mereka dengan mudah membuat surat pengaduan akan perselisihan mereka dengan orang pribumi kepada asisten residen Yogyakarta. Asisten residen pulalah yang kemudian “menekan” Adipati Aria Paku Alam VI mempertemukan dua orang bersengketa itu dan menyelesaikan persoalannya. Setelah persoalan itu selesai, tidak serta merta mesti dilaporkan sang adipati kepada asisten residen. Sering malah asisten residen mesti mengirim surat lagi untuk menanyakan hasil dari sengketa tersebut.

Hubungan orang Cina-asisten residen dan Paku Alam VI-pribumi menggariskan hubungan yang satu bersifat equal, dan lainnya hirarkis, serta pada asisten residen-Paku Alaman VI tampak relasi konflik. 

Relasi-relasi itu telah memunculkan satu sistem hubungan yang menautkan status-status kolonial dan tradisional.  Ada tiga bentuk relasi dari sistem tersebut. Pertama, relasi yang tampak. Dalam sistem kolonial di Yogyakarta status-status elite tradisional tidak saja dipertahankan, sekaligus menjadi “perantara” dengan rakyat bawah. Hal ini tergambar dari adanya relasi yang tampak jelas dari keberadaan pribumi sebagai kawulo Pakualaman, dan Adipati Paku Alam VI sendiri sebagai bagian dari sistem kolonial, sementara orang Cina merupakan kelompok masyarakat yang berada diantara dua kutup elite (kolonial dan feodal) yang memiliki hubungan “erat” dengan pihak pribumi, tetapi dengan bergantung dengan pejabat Belanda, tidak feodal. Kondisi ini menempatkan Cina sejajar dengan elite pribumi seperti Paku Alam VI, meski yang terakhir adalah seorang raja.

Kedua, karena posisi yang timpang dan aneh ini, lazim kemudian muncul relasi-relasi konflik terbuka dan terselubung diantara unsur-unsur sistem relasi tersebut. Konflik terbuka tampak dari hubungan Cina-Pribumi. Salah satu penyebab konflik adalah masalah perdagangan dan pinjam meminjam diantara keduanya. Surat-surat resmi dari asisten residen kepada Paku Alam VI menunjukan keberpihakan pejabat Belanda ini terhadap masalah “sepele” yang dilaporkan orang Cina. Bagi orang Cina Paku Alam VI sendiri sebagai raja tidak dianggap dapat mewakili kepentingan mereka. Sementara lewat surat-surat asisten residen yang terus menerus menanyakan hasil suratnya atas laporan orang Cina itu menunjukan keengganan relasi hirarkis dari Paku Alam VI. 

Keberadaan surat itu jelas suatu “paksaan” untuk mengakui kedudukan asisten residen yang lebih tinggi dari Paku Alam VI sendiri. Dengan tidak mengirim surat balasan hasil dari mediasi konflik terbuka Cina-Pribumi, Paku Alam VI ingin menjelaskan kedudukannya yang tidak di bawah asisten residen sehingga tidak perlu melapor bagaimana hasil akhir sengketa. Perilaku ini menunjukan konflik terselubung diantara dua elite kolonial itu. Ketiga, meski “paksaan” untuk membalas suratnya terus dilakukan, hubungan asisten residen dan Paku Alam VI tidaklah dapat dikatakan hirarkis, kecuali dengan orang Cina. Bagi orang Cina, asisten residen adalah patron dimana mereka mesti bergantung secara politik. Relasi-relasi dari hubungan yang diurai di atas dapat ditemukan dalam beberapa surat-menyurat antara asisten residen dengan Paku Alam VI dari tahun 1901-1902.

KUANTITASI DAN MAKNA DALAM SEJARAH: Sebuah Catatan Atas Pembacaan

[edisi revisi John Tosh, THE PERSUIT OF HISTORY: Aims, methods and new direction in the study of modern history (Essex: Pearson Education, 2002)]

Credo utama dari buku ini, sebagaimana ditulis Tosh adalah sejarawan perlu menghitung. Menghitung di sini tentu bukan dalam artian bagaimana angka-angka dipakai dalam kajian matematika atau fisika. Tapi seiring makin intensnya pertemuan teori sosial dan ekonomi menjelaskan masa lalu atau sejarah, maka para sejarawan mulai mempertimbangkan ukuran-ukuran kuantitas dalam mendukung metodologi penelitian mereka. Tosh menyebutkan dengan sejarah kuantatif (quantitative history).

Dijelaskan Tosh ada dua pertanyaan penting menjelaskan keberadaan sejarah kuantitatif. Pertama, apa scope atau batasan sejarah kuantitatif itu. Kedua, sejauh mana sejarah kuantitatif itu telah  ditransformasikan dalam metodologi penelitian ilmu sejarah.

Beberapa dekade lalu, ada hubungan yang a-harmonis atau tidak selaras antara sejarawan dengan ilmuan sosial lain seperti antropolog, sosiolog, atau ekonom. Menurut istilah Peter Burke (2003), hubungan yang use and abuse, saling menggunakan dan menyalahgunakan. Sejarawan cenderung mencurigai ilmu-ilmu sosial sebagai a-historis, dan menolak adanya teorisasi dalam penelitian sejarah. Namun semakin tingginya kesadaran akan pentingnya sejarah pertumbuhan ekonomi, sejarah sosial, dan seterusnya di kalangan sejarawan sendiri, serta kebutuhan riset sejarah sebagai pembanding bagi kajian ilmu sosial-humaniora, memperdalam saling apresiasi diantara keduanya; sejarawan dan ilmuan sosial. Dalam titik temu inilah, menurut Tosh, sejarah kuantitatif akhirnya diterima dalam metodologi ilmu sejarah tahun-tahun belakangan.

Menurut Tosh ada empat bentuk transformasi sejarah kuantitatif dalam metodologi penelitian ilmu sejarah. Keempatnya adalah sejarah demografi (kependudukan), sejarah struktur sosial, sejarah politik, dan sejarah ekonomi.

Bila kita memperdalamkan karya ini dengan tulisan Peter Burke (2003), Sejarah dan Teori Ilmu Sosial, metode penelitian kuantitatif memiliki sejarah panjang, yang dimulai dari sejarah Romawi Kuno ketika sensus-sensus berkala kerajaan diadakan. Sementara di Perancis abad ke-18 data-data kualitatif dikeluarkan tentang harga, produksi, dan sebagainya. Sementara di Inggris dilakukan dalam hal penelitian akan populasi. Di era media massa masal kini, metode kualitatif dikembangkan lewat survey, namun di kalangan sejarawan sendiri penggunaan data survey masih debatable, atau meragui. Ketidaksetujuan itu terkait dapatkah analisis statistik dipakai mengkaji perilaku manusia, bahkan sikap satu masyarakat?

Meski demikian, terobosan-terobosan seputar angket ini terus dilakukan. Misalnya apa yang ditulis Gilberto Freyre. Ia menulis sejarah Brasil di abad ke-19 dengan mengirim angket kepada orang-orang yang masih hidup pada periode itu. Namun dalam kajian sejarah kontemporer, wawancara kadang menjadi bagian dari metode statistik. Metode kuantifikasi ini juga dapat digunakan untuk kajian sejarah media dengan memakai praktik analisis isi.

Bagi ahli kependudukan (sejarah demografi), mereka meneliti variasi tingkat kelahiran, perkawinan, dan kematian di berbagai masyarakat. Tosh memberikan contoh kajian dari Wrigley dan R.S. Schofield yang mengakulasi rata-rata nasional kelahiran, perkawinan, dan kematian di Inggris dari 1801 sampai pertengahan abad ke-19. Dari penelitian ini mereka dapat melihat naik turun atau variasi terbatas dari pertumbuhan rata-rata sebelum dan sesudah batasan temporal penelitian mereka.

Lapangan kedua menurut John Tosh dari penggunaan metode kualitatif adalah sejarah struktur sosial. Sesunggunya ada kedekatan antara kajian sejarah struktur sosial ini dengan sejarah demografi. Keduanya menggunakan data sensus menganalisis satu masyarakat. Tosh menjelaskan, sensus masyarakat secara tidak langsung adalah bagian wacana yang terbuka untuk interpretasi kuantifikasi. Contohnya melihat pekerjaan, status, afiliasi keagamaan, migrasi desa ke kota dan seterusnya. Lebih kongkret Tosh memberi gambaran bagaimana sejarah struktur sosial dalam apa yang disebut, “new urban history”, sejarah perkotaan baru di AS. Kajian ini didasarkan atas premis bahwa perubahan struktur sosial dari sebuah kota dapat direkonstruksi dengan menganalisis catatan-catatan jadwal dari sensus AS dalam hubungannya dengan data-data angka; misalnya catatan pajak, direktori kota, catatan kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Lapangan ketiga dari metode kuantitatif adalah pada kajian sejarah politik. Contoh kajian sejarah memakai metode kuantitatif adalah penelitian tentang perilaku pemilih dalam pemilu (psephology). Di sini pendekatan kuantitatif diarahkan pada, salah satunya menurut Tosh, data angka pemilih. Dari catatan-catatan pemilih analisis dapat dihubungkan dengan pendapatan pemilih, status atau agama, dan seterusnya.

Terakhir, menurut John Tosh metode kualitatif jelas sekali dapat digunakan pada penelitian sejarah ekonomi. Pada apa yang dinamakan “sejarah ekonomi baru”, kajian sejarah jenis ini lebih menekankan pada pengukuran kinerja ekonomi secara keseluruhan, yakni menghitung PNB (Produk Nasional Bruto) masa lalu, khususnya di negara-negara Barat sejak tahun 1800, ketika data statistik relatih melimpah dan makin dapat diandalkan.

Wednesday, September 26, 2012

Bila Perempuan "Azan" di Mesjid FIB Unand: Emansipasi Perempuan di Rumah Tuhan?

Lantunan firman-firman Tuhan sejak pagi mengiring langkah civitas akademika Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Sudah dua hari ayat-ayat Tuhan itu dibacakan dengan merdu peserta "lomba" tilawatil Quran. Memang enak bila mendengar perempaun yang melantunkan itu. Namun dari kegiatan ini terselip juga pertanyaan.

Sudah begitu rendahkah keberQuranan orang Minang yang katanya bersendi Al Quran ini dalam hidup? Sampai-sampai membaca Quran pun mesti dilombakan? Duh, Gusti...ini tanda apa adanya? Kenapa baca sabda-sabdaMu nan agung itu mesti dilombakan?

Bukankah kewajiban kita sebagai orang Muslim membacanya? Bukankah kepasrahan dan keikhlasan merupakan sendiri dari keberagamaan kita semestinya? Kalau membaca sabda-sabdaNya itu mesti dilombakan, jangan-jangan masuk surga pun akan dilombakan pula? Bukankah Tuhan sudah menyeru bahwa surga bahkan nerakanya itu luasnya lebih luas dari langin dan bumi?

Duhai suara perempuan itu dengan lantang mengaji? Jadi teringat dengan Boedioanduk, eh Boediono yang minta pemakaian speaker mesjid dibatasi suaranya? Entahlah bagaimana para guru-guru mengaji mengajarkan agama hari ini di berbagai tempat. Seingatku dulu, suara perempuan itu salah satu aurat dan haram diperdengarkan untuk "konsumsi" publik.

Tapi yang terdengar sekarang? Sejak pagi tadi suara perempuan saja yang terdengar di mesjid itu? Di rumah Tuhan itu. Perempuan itu "azan" di mesjid FIB Unand? Waduh gejalah apa ini? Apakah bagian dari emansipasi perempuan di rumah Tuhan?

Tuesday, September 25, 2012

Internet for free

Malang nian nasib orang Indonesia yang berada di sisi antara kota dan desa. Mereka yang berada di garis batas. Dua kakinya terbelenggu dalam dua ranah yang saling tarik menarik. Satu tuntutan kemajuan tekonologi, satu lagi sunyi akan sentuhan teknologi informasi; salah satunya internet.

Hasrat menggapai kemajuan dengan kemudahan akses tak dapat disalurkan. Jaringan masih lemot. Tool yang digunakan pun terbatas dan mahal. Entah kapan akan ada internet for free di negeri ini. Bila sudah, tentu akan lempang dan mudahnya masyarakat kita berinteraksi dengan dunia luar sana.

When it will be happened? Dear government, can you see that!!

Keangkuhan Warga Kota dan Keluguan Rumi

Kota yang tidak ramah, sudah hampir satu tahun meninggalkannya. Orang-orang masih berjalan dengan keangkuhan masa lalunya yang gersang. Kemacetan, sumpah serapah di jalan, di pasar, tak mau membalas salam dan senyum dari seorang anak kecil sekalipun (kasihan Rumi yang menawarkan senyum tapi berbalas kecuekan, masih kecil tapi sudah (shock culture), kemarahan yang tak tahu kemana hendak dituangkan.

Mobil-mobil yang garang, sepeda motor yang menerjang tanpa halang. Kota ini memang kota kolonial yang malang, kesempatan dan tawaran hilang demi harga diri jiwa-jiwa petualang dan budak yang ingin berkuasa. Tak ada yang beda dari kota ini sejak kutinggalkan. Masih bermental kolonial, tapi dari kelompok kolonial yang tertindas dan kini berkuasa. Tak ada yang lebih menakutkan dari penguasaan orang tertindas yang bermental kolonial. Kemerdekaan adalah kebebasan dengan keangkuhan yang seenak puser e dewe...ckckckck..Benar-benar tak ada yang berubah meski bencana terus menimpa, ini negeri dengan kezaliman yang jadi hal biasa. Sama dengan bukit-bukit itu, tak ada yang berubah. Tapi satu hal pasti bukit-bukit itu tetap memberi perubahan rasa dan menyimpan banyak kenangan masa kecil yang selalu hadir ketika menatapnya...Ingin bawa Rumi satu hari ke puncak-puncak bukit Padang, agar dia tahu di puncak itu masih banyak cerita selain keangkuhan kota dan sebagian penduduknya...

Cerita untuk RUMI

Setelah melihat foto-foto lama, mendengar/ menghadiri resepsi pernikahan kawan di kuliah dulu, dan apa yang kudapat hari ini, semuanya membuatku jadi bertanya-tanya. Rasa apa yang menyundul di ulu hatikku kini. Apakah romantisme masa lalu yang menggeliat, ataukah kepuasan menatap hari ini, atau gejolak gairah menatap masa depan? Entahlah, tapi satu hal pasti yang membuatku lebih optimis merenungi semua ini adalah rengekan anakkku Rumi di sebelahku. "Cepatlah dewasa Nak, ayahanda ingin banyak berkisah padamu tentang hari-hari depan yang kan kau lalui dengan ribuan doa dari kami..

Puisi untuk RUMI

Waktu itu kadang "musuh" bagiku, dan mungkin sebagian dari kita. Tak terasa, dulu anakku Rumi yang baru bisa mutar kepala pas tidur ke Yogya ini yang ketika melihat itu senangnya bukan main, kini sudah mulai lasak. Waktu telah membumbung dia begitu cepat, sementara kami masih terpesona setiap perubahan kecerdasan yang ia miliki tanpa menyadari ia telah "diculik" dari kami...Ah, betapa ingin ku reg
ut kaki waktu yang berjalan cepat itu agar anak kami rumi masih tetap menjadi anak kami yang "bayi" itu. Tapi kalau pun bisa, apa kami tidak akan menjadi orang tua yang Malin Kundang? Yang durhaka pada setiap perubahan yang menjadi hak hidupnya? Rumi sayang...doa tulus ayahanda dan ibunda bagi kebahagianmu di dunia dan akhirat kelak senantiasa kami munajatkan ke pemilik waktu itu...Amin (Tidurlah yang nyenyak Nak...)

Let's begin!


Benarkah sejarah merupakan tabel-tabel kebodohan manusia masa lalu sebagaimana disinisi oleh Voltaire? Memang, yang paling bisa kita pelajari dari sejarah adalah manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Keterpurukan ekonomi, konflik disertai kekerasan, vandalisme, segregasi etnik, ketidakadilan sosial, dan sebagainya seakan menjadi tapak-tapak waktu dalam tubuh-tubuh manusia dalam rentang waktu ratusan tahun. Sikap-sikap penghancuran peradaban itu muncul seiring pergantian antargenerasi.

Atau dalam bahasa Perancis le’ histoire se repete, sejarah yang berulang. Mungkin benar juga, keterulangan sejarah terjadi memang tidak pada aktor sejarahnya, tapi pada perilaku manusia setiap zaman, dari dulu sampai sekarang. Jika demikian, salahkah Voltaire?