Wednesday, October 3, 2012

Daina dari Koto Gadang


Judul Buku : Koto Gadang Masa Kolonial
Penulis : Azizah Etek, Mursjid A.M, Arfan, B.R
Penerbit         : LKiS, Yogyakarta, 2008
Tebal : 326 halaman


“Dengan penuh harapan dan perasaan kami, pertimbangkanlah penghuni (perempuan) Koto Gadang ingin perubahan”
(Petisi Hadisah, 6 Mei 1924)

Daina adalah gadis perantau dari Koto Gadang di Medan. Luasnya pendidikan di daerah asalnya telah membawanya keluar dari nagari yang tahun-tahun 1920-an masih terikat pada pertanyaan; siapakah yang pantas disebut sebagai orang Koto Gadang. Ia bekerja sebagai post asisstent di Kantor Pos Medan. Tak mau kalah dengan perantau laki-laki lainnya, namanya pun masuk ke dalam daftar donatur pembangun nagari para “engku-engku doto” itu.

Pada satu hari dia jatuh cinta dan kawin di Deli dengan laki-laki muslim pilihannya bernama Pomo, kawan sekantornya yang berasal dari Jawa. Entah paham atau tidak, mungkin juga karena pendidikannya yang sudah maju, ia terlupa bahwa “haram” hukumnya gadih Koto Gadang kawin dengan orang dari luar. Seorang perempuan dari negeri asalnya hanya boleh kawin dengan laki-laki dari Koto Gadang.

“Membaca dan memperhatikan kerapatan penghulu-penghulu itu telah juga paduka yang mulia ada heran pula sebab selama paduka bermukim di Bukittinggi barangkali paduka belum pernah mendengar bahwa sudah dari dahulu kala perempuan di Koto Gadang tidak boleh kawin dengan laki-laki lain yang bukan dari empat koto (Sianok, Koto Gadang, Guguk, dan Tabek Sarojo). Untuk itu sebagai hukuman, Daina dijatuhi hukuman buang tingkarang yang berarti: dikeluarkan sepanjang adat. Jikalau ada ninik mamak atau kaum keluarga menerima Daina dengan baik jika ia datang ke Koto Gadang, maka orang-orang itu keluar pula dari sepanjang adat di Koto Gadang” (Surat oleh redaksi Soeara Koto Gadang kepada Van Rokel).

***
Koto Gadang, nagari di barat Bukittinggi, di seberang Ngarai Sianok sangat kuat mempertahankan adat. Akan tetapi dalam waktu bersamaan Koto Gadang merupakan daerah pertama yang membuka diri terhadap pengaruh luar, khususnya pendidikan Belanda di Sumatera Barat. Pendidikan Barat bertemu dengan kekolotan adat!

Membaca atau mendengar nagari ini membawa orang pada nama besar Haji Agus Salim. Selain Salim, Koto Gadang juga pernah melahirkan tokoh seperti Syaikh Khatib Al Minangkabauwi dan Abdul Rivai. Selain itu, tak ada wilayah lain di Sumatera Barat yang paling dipengaruhi sistem pendidikan Belanda yang berseberangan dengan Padangpanjang di sisi lain, yang kuat dengan  tradisi keislamannya.

Namun, sesungguhnya ada satu hal yang jarang ditulis atau diperhatikan adalah keresahan kaum perempuan Koto Gadang sebagaimana diungkapkan buku ini. Meski awalnya buku ini mengajak kita bertamasya ke masa lalu ke nagari para engku-engku itu, namun buku ini banyak mengungkap bagaimana sebuah pembaruan sikap para perempuan Koto Gadang yang tak mau lagi diatur berdasar aturan patriarki kaumnya.
Kasus Daina adalah salah satu kasus pembuka dalam buku ini. Secara gamblang ia mengisahkan perlawanan dan polemik besar yang muncul dari “penyimpangan” itu yang diikuti kemudian apa yang disebut sebagai “Petisi Hadisah” tahun 1924. Satu semangat yang ingin mereka sebarkan adalah: perubahan dan emansipasi. Petisi itu juga bahkan lebih canggih dari gerakan emasipasi Kartini di zaman yang zaman.

Buku ini menarik karena ditulis berdasarkan pembacaan romatik akan masa lalu. Tinggalkan segala tata krama penelitian sejarah ilmiah karena buku ini memang ditulis oleh sejarawan profesional. Namun demikian, salah satu kelemahan buku ini adalah ia terlalu “ringan” sebagai sebuah buku sejarah serius, atau mungkin demikian maksud para pengarang. Penulis adalah pecinta sejarah. [Bila anda suka artikel ini silahkan klik iklannya, gratis]

0 comments:

Post a Comment