Friday, October 5, 2012

Gerakan Protes Sartono Kartodirdjo: Bagian I


Pengantar
Tidak mudah bagi petani dimana pun sesungguhnya bergerak atau melakukan gerakan protes. Pandangan dunia mereka yang terbatas dan cenderung pasif mendorong sifat-sifat pasrah dan berlindung di balik alasan nasib atau kuasa-kuasa transenden pada setiap efek buruk yang menimpa mereka; misalnya banjir, tanah longsor, gagal panen karena berbagai sebab, serta himpitan politik lokal ketika terjadinya perang. Maka dari itu, munculnya fenomena gerakan petani yang meluas di kawasan Asia Tenggara—kawasan yang memiliki akar panjang pada sejarah pertaniannya—pada abad ke-19 dan seterusnya menimbulkan berbagai pertanyaan spekulatif dan hipotetif; faktor apa yang melatari atau mengapa mereka bergerak?

Jika kapitalisme Barat yang imperialis itu yang menjadi sumber petaka. Apakah kapitalisme Timur yang juga imperialis jauh sebelum abad ke-16 yang menguasai kawasan ini sesuatu yang mesti ditepikan? Bila kita menelusuri berbagai literatur kesejarahan kontemporer, persoalannya jelaslah bukan pada persoalan Barat atau Timur-nya. Tetapi pada titik ruyaknya yang bersifat sistemik, sehingga ketika mengkajinya pendekatan yang multidisiplin menjadi salah satu alternatif dalam mengcover satu periode yang jauh dari jangkauan imajinasi kita hari ini. Jika sejarah dalam objeknya yang luas itu begitu asing, lebih asing lagi membatasinya pada satu periode dan satu wilayah saja.

Jawa pada kurun beberapa abad lalu bagi kita sangatlah asing dalam perspektif metodologi sejarah yang empiris. No written no history menjadi paradigma ketat atas satu penulisan sejarah (historiografi) yang ilmiah. Meski di Jawa ada tradisi babad atau serat, namun itu belum cukup bahkan “haram” dipakai sebagai sumber sejarah yang empiris itu. Maka satu-satunya pencerahan adalah pada arsip-arsip kolonial yang dengan rapi mencatat berbagai gejolak yang terjadi, termasuk di Jawa pada abad-abad yang disebut periode Hindia-Belanda. Demikianlah, Jawa menjadi satu “kotak pandora” dalam aksara-aksara kolonial yang menyimpan berbagai hal menakjubkan; salah satunya catatan atas gerakan petani Jawa yang meluas di berbagai tempat sejak paruh terakhir abad ke-19 dan ke-20.

Ada dua kata utama yang menandai Jawa abad ke-19 dan ke-20; modernitas dan kapitalisme-kolonialis. Dua kata ini adalah satu kesatuan yang mencirikan zaman (zeitgeist) kala itu. Pembukaan perkebunan besar yang disertai sistem ekonomi liberal mendorong penerapan teknologi terkini yang berakibat pada transformasi sosial dan penerapan konsep-konsep modernisme di tanah Hindia-Belanda. Beberapa daerah di Jawa, seperti di Priangan, Tegal, Madiun, Semarang, Surabaya, dan banyak lagi tersunglap dari satu daerah rural menjadi urban/ suburban oleh laju dinamika penerapan teknologi tersebut. Segera sawah beralih fungsi sebagai lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau, dan petani-petani pun beralih profesi karena kesempatan yang dibuka oleh keadaan itu.

Periode kapitalisme-kolonialis di paruh pertama abad ke-19 memang membuka berbagai kesempatan ekonomi, sekaligus mobilitas sosial orang-orang yang mau berasimilasi ke dalam sistem yang baru itu. Namun, secara sistemik perubahan itu juga mendatangkan berbagai persoalan di tingkat akar rumput seperti petani Jawa yang terkena dampak langsung oleh adanya sistem kapitalisme-kolonialis tersebut.

Bagi petani dengan pandangan dunia yang terbatas itu, tanah dan kemerdekaan individu merupakan segala-galanya. Ketika tanah tidak lagi memberi arti secara ekonomis, maka ketika itulah pegangan hidup mereka menjadi hampa dan mudah terombang-ambing. Begitu juga pada kemerdekaan individu mereka ketika tanah-tanah yang dimiliki digadai dalam batasan waktu lebih satu generasi (sampai 75 tahun), baik yang dilakukan secara sadar ataupun lewat intimidasi, tidak ada alternatif lain selain menyatukan diri pada kelompok “orang-orang yang kalah” yang siap untuk digerakan—bila istilah Tan Malaka dalam Massa Aksi kita gunakan.

Karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Ninetheenth and early Twenthieth Century kurang lebih memfokuskan bagaimana kaum tani di pedesaan Jawa di abad ke-19 dan awal abad ke-20 bergerak oleh desakan sistem kapitalisme-kolonialis Belanda. Buku ini merupakan kelanjutan eksplorasi kesejarahan dengan topik yang sama yang dilakukan Sartono pada karya magnum opus-nya the Banten Revolt of 1888.

Sartono Kartodirdjo merupakan embah sejarawan Indonesia. Ia merupakan salah seorang peletak dasar kajian sejarah ilmiah yang banyak diikuti generasi berikutnya. Pendekatan multidisiplin yang ia kenalkan mempengaruhi corak dan warna historiografi Indonesia mutakhir, salah satunya lewat bukunya ini.

Buku ini terdiri dari enam bagian yang dimulai dengan pendahuluan, dan diakhiri oleh kesimpulan. Buku ini juga dilengkapi dengan peta-peta pulau Jawa di awal abad ke-20, serta index yang cukup luas. Bagian-bagian itu adalah; pendahuluan, gerakan anti-pemerasan, gerakan mesianisme, gerakan sektarianisme dan pembaruan, gerakan Sarekat Islam lokal, dan kesimpulan.[bila anda suka dengan artikel ini mohon klik iklan di bawah atau di halaman depan. Gratis. Terima kasih]

***

0 comments:

Post a Comment