Tuesday, October 23, 2012

Narasi Kepahlawanan: Yang Mitologis, Yang Historis II


Pahlawan historis
Patung-patung para pahlawan dan nyanyian cinta tanah air hadir di pelosok-pelosok tempat di negeri ini; apalagi setiap hari nasional bersejarah seperti Hari Pahlawan, Peringatan Sumpah Pemuda, Proklamasi, peringatan 100 tahun tokoh-tokoh nasional, dan lain-lain. Namun setelah beberapa lama ia mengisi ruang jiwa yang hampa dan mulai kehilangan pengaruh di jiwa rakyat Indonesia. Ia telah menjadi “berhala” karena dimitoskan. Berhala sejarah. Dan berhala—bagaimanapun bentuk dan sifatnya—jelas  sebuah pemalsuan dan penipuan diri sendiri akan harapan kehadiran sebuah keagungan dan kemuliaan masa lalu yang akan segera dilupakan setelah kegiatan itu berakhir (amnesia historis).

Pro-kontra pemberian gelar pahlawan nasional yang terjadi setiap tahun terus berulan, salah satu kasusnya adalah ketika Suharto diusulkan menjadi pahlawan nasional. Sebagian masyarakat menilai gelar pahlawan itu tidak cocok disandang “Raja Jawa Terakhir” ini, karena selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dianggap bertanggung jawab dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Seperti kasus Tanjungpriok (1984), Talangsari (1989), penculikan dan penghilangan paksa (1997/1998), hingga kerusuhan 1998. Tragedi tahun 1965-1966 yang sampai hari ini masih menjadi dilema sejarah dan kontroversi menjadi titik lemah pemberian gelar pahlawan bagi Suharto.

Namun sebagian lain masyarakat justru menilai Bapak Pembangunan ini layak menjadi pahlawan nasional. Suharto berhasil membawa perbaikan ekonomi Indonesia sejak tahun 1967, dimana inflasi mencapai 600%. Pembangunan sarana dan prasarana dari kota sampai desa, serta program transmigrasi menjadi catatan keberhasilan pembangunan Orde Baru selama tiga dekade. Ia juga sukses mengokohkan negara ini sebagai salah satu yang disegani di kawasan ASEAN. Sebelumnya, Letkol Suharto menjadi salah seorang aktor utama dari Serangan Umum 1 Maret 1949, dan memimpin banyak pertempuran dalam mengukuhkan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah jujur
Dalam konteks sejarah bangsa, berbagai cerita mengenai kepahlawanan beriringan dengan kisah-kisah tragedi dan kemunafikan. Di sinilah arti penting makna sejarah sebagai peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan mitos sebagai hal yang diada-adakan (kebohongan sejarah). Khazanah masa lalu itu adalah kekayaan dan realitas yang diwariskan para pendahulu kita sebagai modal sejarah untuk menguatkan kebersamaan, sekaligus merefleksikan wajah keindonesiaan kita.

Dalam periode yang cukup panjang, anak bangsa ini hidup dalam pemahaman kesejarahan yang hitam-putih berdasar kepentingan kekuasaan. Karena itu, sejarah jujur adalah penceritaan masa lalu yang apa adanya, tak ada rasa malu, dan menerima baik-buruk para pelaku sejarah kita tanpa perlu ditutupi atau dikultuskan. Apalagi kejujuran adalah sifat langka di antara para pemimpin kita hari ini, maka sudah saatnya generasi muda bangsa ini belajar jujur dari sejarahnya yang kelam.

Esensi gelar pahlawan nasional bertolak pada rasa kepemilikan kolektif dan simbol solidaritas sejarah; satu bangsa dan satu tanah air. Namun seringkali esensi ini diplintir untuk kepentingan politis, dan kadang menafikan “pahlawan nasional” dari lapisan bawah; petani, buruh, prajurit pangkat rendah, atau pekerja dapur umum di masa perjuangan. Karena konsep yang dangkal tentang makna nasional, mereka akhirnya terpinggirkan dalam catatan sejarah. Dan memang eksplanasi objektif terhadap peran rakyat dalam sejarah Indonesia karena kepentingan politis dari keberadaan pahlawan mitologis, kita telah menulis dan mendukung sebuah ketidakjujuran sejarah bagi generasi kini. [Bila anda suka dengan artikel ini silahkan klik salah satu iklan di halaman depan. Gratis dan sangat membantu update blog ini/Red]

0 comments:

Post a Comment