Tuesday, September 25, 2012

Keangkuhan Warga Kota dan Keluguan Rumi

Kota yang tidak ramah, sudah hampir satu tahun meninggalkannya. Orang-orang masih berjalan dengan keangkuhan masa lalunya yang gersang. Kemacetan, sumpah serapah di jalan, di pasar, tak mau membalas salam dan senyum dari seorang anak kecil sekalipun (kasihan Rumi yang menawarkan senyum tapi berbalas kecuekan, masih kecil tapi sudah (shock culture), kemarahan yang tak tahu kemana hendak dituangkan.

Mobil-mobil yang garang, sepeda motor yang menerjang tanpa halang. Kota ini memang kota kolonial yang malang, kesempatan dan tawaran hilang demi harga diri jiwa-jiwa petualang dan budak yang ingin berkuasa. Tak ada yang beda dari kota ini sejak kutinggalkan. Masih bermental kolonial, tapi dari kelompok kolonial yang tertindas dan kini berkuasa. Tak ada yang lebih menakutkan dari penguasaan orang tertindas yang bermental kolonial. Kemerdekaan adalah kebebasan dengan keangkuhan yang seenak puser e dewe...ckckckck..Benar-benar tak ada yang berubah meski bencana terus menimpa, ini negeri dengan kezaliman yang jadi hal biasa. Sama dengan bukit-bukit itu, tak ada yang berubah. Tapi satu hal pasti bukit-bukit itu tetap memberi perubahan rasa dan menyimpan banyak kenangan masa kecil yang selalu hadir ketika menatapnya...Ingin bawa Rumi satu hari ke puncak-puncak bukit Padang, agar dia tahu di puncak itu masih banyak cerita selain keangkuhan kota dan sebagian penduduknya...

0 comments:

Post a Comment